Surabaya, (pawartajatim.com) – Peristiwa tindak asusila mencuat lagi. Bahkan, pelakunya kali ini diduga dari kalangan penebar kebaikan. Salah seorang pendeta sebuah gereja di Surabaya ditengarai melakukan aksi pencabulan terhadap Melati (nama samaran), yang tak lain adalah cucunya sendiri. Tindak perbuatan tak terpuji itu dilakukan sejak Melati masih duduk di kelas 3 SD.

Kasus tersebut kini ditangani Unit PPA (Perempuan dan Perlindungan Anak) Polrestabes Surabaya. Ibu kandung korban, RM yang didampingi kuasa hukumnya Jan Labobar, SH., MH., mengatakan, peristiwa asusila yang diduga dilakukan pendeta berinisial JM (70) itu terbongkar pada Juli 2023 lalu, saat Melati menginap di rumah tantenya bernama HL, yang berada di Sidoarjo.

Melati yang sebelumnya sebagai gadis kecil yang periang kini berubah menjadi pendiam. Bahkan, kerap kali terlihat murung dan suka menyendiri. Perubahan perilaku Melati itu, mengundang kecurigaan HL. Apalagi, Melati sempat mengatakan pada HL jika dirinya akan bunuh diri.

“Selain suka diam dan wajahnya murung, anak saya sempat bilang ke tantenya itu mau bunuh diri saja,” kata RM di Surabaya Sabtu (20/4). Mendengar penuturan Melati yang polos itu, HL pun kaget. Hingga kemudian HL mengorek keterangan lebih lanjut ke Melati, tentang yang menjadi penyebab dia mau bunuh diri.

Menurut RM, dari situlah kemudian kasus dugaan pencabulan oleh kakeknya itu terbongkar. Dengan sedikit ketakutan, Melati menceritakan jika dia dicabuli. Bahkan, diperlakukan layaknya hubungan suami istri oleh JM.

Yang menyedihkan lagi, kata RM, aksi asusila  itu diakui sejak Melati duduk di kelas 3 SD. “Dengan rasa ketakutan anak saya mengaku, perbuatan itu dilakukan kakeknya sejak dia kelas 3 SD,” jelas RM. Wanita yang kerja di Pasar Atum Surabaya ini mengakui, saat kejadian dirinya sedang tidak berada di rumah. Dia berada di Manado, dan tidak bisa kembali lantaran tengah diberlakukan PSBB akibat pandemi Covid 19.

“Anak saya  memang tinggal bersama Opa dan Omanya, yang kebetulan kami tinggal satu atap rumah,” ungkap RM dengan mata berkaca-kaca. Setelah HL mendengar pengakuan Melati, HL kemudian memanggil RM, dan menjelaskan semua atas kejadian yang menimpa anak RM tersebut.

RM yang diberitahu atas kejadian itu sempat syok. Apalagi, Melati adalah putri kecil dari 3 bersaudara. Hingga kemudian RM bersama kuasa hukumnya Jan Labobar, melaporkan kejadian tersebut ke Polrestabes Surabaya, dengan nomor laporan: LP/B/320/III/2024/SPKT/Polrestabes Surabaya/Polda Jawa Timur/Jatim.

Sementara itu, Jan Labobar, menjelaskan, berdasarkan keterangan korban ke penyidik, awal asusila itu saat Melati tidur sendirian di kamar, yang selama ini dipakai oleh kakek dan neneknya. Pendeta JM yang sedianya akan membangunkan Melati, untuk mengajak beribadah akhirnya berubah pikiran setelah melihat kemolekan tubuh cucunya.

Pendeta JM pun menggerayangi tubuh Melati. Seluruh tubuh Melati, juga diciumi. Bahkan, jari Pendeta JM dimasukkan ke alat vital Melati. “Awalnya digerayangi, tubuhnya diciumi, kemudian jari-jarinya dimasukkan ke alat vital korban. Itu awal kejadian seperti itu berdasarkan pengakuan korban,” tegas Jan Labobar.

Pasca kejadian itu, lanjut Jan Labobar, aksi mesum Pendeta JM semakin brutal. “Berdasarkan pengakuan, pelaku memperdayai korban untuk berhubungan layaknya suami istri, di lorong yang menghubungkan rumah pelaku dengan gereja. Bahkan, diakui juga perbuatan itu dilakukan di dalam rumah ibadah,” tambah pengacara senior ini.

Dikatakan Jan Labobar, keluarga korban selain melaporkan hal itu ke kepolisian, juga melaporkan kejadian tersebut ke Majelis Pusat Gereja Gerakan Pentakosta. Mengingat pelaku merupakan seorang pendeta.

Bahkan, Majelis Pusat Gereja Gerakan Pantekosta akhirnya ‘memecat’ JM dari status Pendeta, dengan SK No: 02/SK/MP-GGP/VIII/2023. Dalam SK tersebut juga disebutkan bahwa perbuatan JM dalam bentuk apapun adalah atas nama pribadi.

Selain itu, Majelis Pusat Gereja Gerakan Pentakosta mendesak Majelis Daerah Jatim Gereja Gerakan Pentakosta segera menindak lanjuti mencabut status JM sebagai pendeta. “Jadi, yang kita pikirkan juga adalah dampak psikologis anak. Apalagi yang melakukan kakeknya sendiri, yang dekat dengan korban. Ini yang membuat kita sangat prihatin,” tambahnya.

Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya, AKBP Hendro Sukmono, kepada awak media mengatakan, pihaknya sudah melakukan pemeriksaan atas kasus tersebut. “Selama satu minggu awal ini, kami memeriksa saksi korban. Langkah lain yang kami ambil adalah permintaan visum luar, serta rencana pemeriksaan psikologi,” pungkas dia. (dra)