Sidoarjo, (pawartajatim.com) – Maksud hati ingin mencari keadilan, malah dilaporkan ke kepolisian. Prayitno Slamet Hariono, jamaah haji 2023 asal Sidoarjo, yang disebut-sebut telah ditelantarkan di tanah suci akhirnya memilih melakukan upaya hukum.
Hal itu dilakukan lantaran merasa dirugikan sekaligus ingin memberi kritik terhadap pemerintah, khususnya Kementerian Agama (Kemenag). Tragisnya, upaya yang dilakukan itu berdampak sebaliknya.
Dia malah diduga dikriminalisasi Kemenag. Prayitno, diadukan ke Polres Sidoarjo, dengan tuduhan dugaan melakukan pemerasan melalui media sosial atau yang berkaitan dengan ITE (Informasi Teknologi Elektronik).
Setelah merasa dirugikan atas pelayanan haji yang Kemenag sebagai penyelenggaranya, Prayitno, jamaah haji 2023 yang juga berprofesi sebagai advokat ini melakukan gugatan perdata.
Gugatan tersebut didaftarkan ke Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo dengan Nomor Perkara: 250/Pdt.G/2023/PN. Dalam gugatan itu, Prayitno, menuntut ganti rugi Rp 1,1 miliar kepada Kemenag RI, Kemenag Jatim, dan Kemenag Sidoarjo. Dia telah melakukan gugatan ke Kemenag Kabupaten Sidoarjo, karena yang mengurusi administrasi sampai keberangkatan jemaah haji.
‘’Kedua, Kemenag provinsi sebagai koordinator semua Kemenag Kabupaten, Kota. Dan ketiga Kementerian Agama RI dalam hal ini Menteri Agama (Menag) yang bertanggung jawab atas jemaah haji Indonesia ketika berada di Arab Saudi, baik itu penginapan, makanan, keselamatan, transportasi,” kata Prayitno, dilansir tvonenews.com.
Prayitno memaparkan, dirinya pada 2-4 Juli 2023 bersama jemaah haji Kloter 16-17 tidak mendapatkan jatah makanan katering saat di Makkah. Padahal, seharusnya, para jemaah haji mendapatkan jatah makan tiga kali sehari.
Kata dia, saat itu petugas katering haji sudah meninggalkan lokasi lantaran tengah mempersiapkan makanan di Arafah dan Mina. Saat manasik kami selalu dijelaskan dilarang bawa magic com, wajan, panci.
”Akhirnya begitu ada informasi enggak dapat makan tiga hari ya bingung kami. Setelah itu kami jemaah urunan beli magic com, wajan, panci, mi, beras, telur. Kalau habis urunan lagi,” jelas Prayitno.
Selain itu, lanjut Prayitno ketika menuju Mina, mereka juga tidak mendapat makan pada pagi dan siang hari. Dua Kloter itu hanya mendapat makanan saat malam harinya. “Mina itu cuacanya panas, akibatnya banyak jemaah yang pingsan karena dehidrasi, saya sendiri hampir pingsan karena kepanasan menunggu di tanah lapang tanpa air minum yang cukup dan dengan kondisi perut kosong karena tidak mendapatkan jatah sarapan,” tandasnya.
Tidak hanya itu tambah Prayitno, ketika di Madinah dan Makkah pun dapat makanan yang dianggap tak layak. “Dapat makan sih nasi putih dan lauk sambal goreng tahu tempe saja, atau nasi kuning dan orek telur. Apakah begini cara pemerintah dalam menghormati Tamu Allah? Bagaimana jemaah haji akan mendapatkan tenaga untuk melaksanakan ibadah haji apabila makanannya seperti itu,” paparnya.
Tidak hanya makanan, kata Prayitno, ratusan jamaah Kloter 17 juga sempat ditelantarkan saat menunggu bus jemputan dari Musdalifah ke Mina. Mereka seharusnya dijadwalkan berangkat setelah Subuh. Akan tetapi, mereka baru dijemput pada pukul 11.00 siang waktu Arab Saudi.
Atas dugaan penelantaran itulah kemudian Prayitno melakukan gugatan. “Saya menggugat Kemenag karena saya tidak dikasih jatah makan 11 kali dan ditelantarkan di Musdalifah. Terus masalah air Zam zam yang dijanjikan blm didapat dari Gus Menteri (Menteri Agama).
“Kalau misalnya pelayanan haji disana bagus. Saya tidak akan menggugat Kemenag,” urai dia kepada jatimterkini.com. Sementara, dalam proses hukum di PN Sidoarjo, menurut Prayitno, pihaknya juga menjalani mediasi, seperti yang diminta Kemenag.
Bahkan, kata dia, Kemenag Sidoarjo mengutus M Sholeh untuk pendekatan dengan dirinya. “Artinya proses nego kerugian yang saya alami itu masih berjalan dari sebelum sidang sampai sidang mediasi kedua. Dan saya juga berharap semua permasalahan ini berakhir damai tanpa ada yang dirugikan,” tegas dia.
Namun, betapa kagetnya Prayitno begitu mendapati dirinya mendadak diadukan ke Polres Sidoarjo dengan tuduhan dugaan melakukan pemerasan. Setelah gugatan didaftarkan ada proses mediasi.
Para pihak diminta membuat Resume atau penawaran agar perkara bisa damai. Dan saya minta kompensasi Rp 300 juta. ‘’Saya minta kompensasi Kemenag Sidoarjo itu bagian dari mediasi. Karena gugatan sudah saya buat. Dan pihak Kemenag Sidoarjo sendiri yang minta mediasi sebelum gugatan saya daftarkan. Dan juga mediasi setelah gugatan saya daftarkan lewat pengacara M Sholeh,” paparnya.
Prayitno lagi-lagi mengaku merasa aneh jika dirinya diadukan pidana ke Polres Sidoarjo dengan tuduhan pemerasan. Harus dibedakan antara seseorang yang memeras untuk mendapatkan uang atau barang dengan pengancaman akan melakukan sesuatu yang akan merugikan orang lain, dengan orang yang telah dirugikan seseorang atau lembaga yang meminta ganti rugi dengan membuat gugatan ke PN.
‘’Dalam proses mediasi dengan calon tergugat sebelum gugatan didaftarkan dia meminta ganti rugi kepada pihak yang akan digugat. Jadi, ini murni dalam proses mediasi, dalam meminta ganti rugi, bukan pemerasan,” papar Prayitno.
Setelah mengetahui dirinya diduga dikriminalisasi oleh Kemenag, Prayitno pun memohon perlindungan ke DPC Peradi Surabaya, organisasi profesi yang menaungi dirinya sebagai advokat. Bahkan, kini sudah sekitar 33 advokat siap mendampingi Prayitno dalam kasus tersebut.
Sementara itu, Wakil Ketua DPC Peradi Kota Surabaya Bidang Pembelaan Profesi, Johanes Dipa Widjaja SH MH, dalam keterangannya kepada wartawan mengatakan, bahwa apa dilakukan Prayitno sudah tepat.
“Ganti kerugian yang diminta Prayitno sebagaimana yang disebutkan dalam gugatan nomor : 250/Pdt G/2023/PN.Sda tertanggal 14 Agustus 2023 itu sudah tepat dan sepatutnya,” tegas Johanes Dipa Widjaja.
Namun, Johanes Dipa merasa aneh jika ada warga negara Indonesia yang merasa dirugikan dan menuntut ganti kerugian, malah dilaporkan ke polisi. “Ironisnya lagi, warga negara Indonesia yang menuntut adanya ganti kerugian ke Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sidoarjo, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi Jawa Timur dan Menteri Agama Republik Indonesia, malah dilaporkan ke Kepolisian Polres Sidoarjo atas dugaan pemerasan menggunakan media sosial,” ungkap Johanes Dipa Widjaja.
Ia menjelaskan, jika semua gugatan yang disertai tuntutan ganti kerugian yang dilakukan masyarakat Indonesia dinilai sebagai bentuk upaya pemerasan dan bisa dilaporkan ke polisi, hal itu sama halnya dengan bentuk kriminalisasi bagi warga negara yang menuntut keadilan.
“Prayitno sudah benar ketika ia meminta ganti kerugian dalam gugatannya. Namun yang terjadi, Prayitno telah dikriminalisasi. Oleh karena itu, kami akan melawan,” tambahnya. Sedangkan Ketua DPC Peradi Kota Surabaya, Hariyanto SH MH menambahkan bahwa apa yang dialami Prayitno dan banyak jamaah haji Indonesia selama menjalankan ibadah haji harusnya mendapat perhatian Menteri Agama RI dan jajarannya.
“Harusnya ada pembenahan-pembenahan atas keluhan-keluhan para jamaah haji. Dan lembaga negara yang menjadi penyelenggara haji harusnya lebih peduli dan menerima setiap kritikan-kritikan yang masuk selama penyelenggaraan haji,” ujar Hariyanto.
Begitu pula dengan adanya gugatan yang dimohonkan warga negara, seharusnya ditanggapi dengan baik. “Walaupun dalam gugatan itu juga dimohonkan ganti kerugian, hal itu adalah wajar,” kata Hariyanto.
Yang jadi perhatian DPC Peradi Kota Surabaya saat ini adalah mengapa ketika dalam gugatan itu ada permintaan ganti kerugian, hal tersebut dipandang sebagai tindakan pemerasan?
“Seharusnya pemerintah dalam hal ini Kemenag RI lebih mawas diri dan mengapresiasi setiap keluhan dari masyarakat yang merasakan buruknya pelayanan haji selama menjalankan ibadah haji di tanah suci,” tambahnya. (dra)