Surabaya, (pawartajatim.com) – Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia (Pertinasia) menilai Keputusan Mahkamah Konstituti (MK) Nomor 90 Tahun 2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres menjadi catatan kelam dalam sejarah putusan Mahkamah Konstitusi.
Hal itu disampaikan Ketua Pertinasia, Prof Dr Mulyanto Nugroho MM CMA CPA, dalam sebuah diskusi di kampus Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Selasa (14/11/2023).
Menurut Prof Nugroho, Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberikan sanksi kepada Ketua MK Anwar Usman karena melanggar kode etik perilaku Hakim Konstitusi dinilai sudah tepat.
”Namun, putusan MKMK tidak akan memengaruhi keberlakuan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Salah satu amar putusan dari MKMK adalah memutuskan Ketua MK Anwar Usman sebagai hakim terlapor melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan,” kata Prof Nugroho yang juga sebagai Rektor Untag Surabaya.
Ia menjelaskan, fungsi MKMK mengawasi kode etik dan perilaku Hakim MK, dan bukan pada substansi putusan MK. Selain itu, dalam pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945 menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan binding (mengikat).
”Keputusan tersebut menjadi pengalaman yang berharga bagi hakim konstitusi untuk terus mempertahankan sikap netralitas. Di sisi lain, secara hukum tidak ada upaya lain yang dapat ditempuh terkait dengan hasil amar putusan tersebut,” jelasnya.
Menurut Prof Nugroho, dalam Putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023, salah satu anggota MKMK yaitu Bintan R. Saragih memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Dissenting opinion tersebut adalah menyatakan pemberhentian tidak dengan hormat kepada Anwar Usman sebagai Hakim Konstitusi yang disebabkan telah terbukti melakukan pelanggaran berat.
”Sebagaimana diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran berat hanya pemberhentian tidak dengan hormat dan tidak ada sanksi lain,” ungkapnya.
Dia menegaskan, hal tersebut sangat berkaitan erat dengan reputasi peradilan dan keyakinan masyarakat terhadap independensi kehakiman. Sebagai benteng terakhir dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan, hal ini sangat dipengaruhi oleh integritas pribadi, kompetensi, dan perilaku hakim konstitusi saat menjalankan tugas untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang diajukan kepada mereka, demi mencapai keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
”Saya berharap melalui keputusan MKMK tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi dapat secara bertahap pulih, terutama mengingat tugas berat yang akan diemban oleh MK pada tahun mendatang, yakni menangani perselisihan hasil Pemilu dan Pilkada,” pungkasnya. (red)