Banyuwangi,(pawartajatim.com)– Forum Suara Blambangan (Forsuba) terus mendorong adanya titik temu terkait polemik tanah di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Banyuwangi. Terbaru, lembaga ini melayangkan somasi kepada Rukun Tani  Pakel. Surat somasi ini berisi keberatan atas dugaan digunakannya dokumen milik Forsuba dalam polemik lahan negara itu.

Somasi yang dilayangkan ini ternyata yang kedua kalinya. Pertama, somasi dilayangkan, 3 Juni kemarin. Surat somasi ini juga ditembuskan ke Polresta Banyuwangi. “ Kami  diputus lepas oleh MA dalam kasus tanah Pakel. Agar tidak tercatut lagi dalam kasus serupa, kami meminta dokumen Forsuba tidak lagi digunakan Rukun Tani Pakel dalam polemik tanah Pakel,” kata Ketua Forsuba, Abdillah Rafsanjani dalam diskusi “Menuju Pakel Damai dan Sejahtera” yang diinisiasi Polresta Banyuwangi, Senin (10/6/2024).

Dokumen yang dimaksud Abdillah adalah Surat Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banyuwangi bernomor : 280/600.1.35.10 /II/2018, tertanggal 14 Februari 2018. Surat  itu menurut Abdillah merupakan jawaban atas surat Forsuba yang dilayankan ke BPN Banyuwangi. Saat mendampingi ahli waris akta 1929 pembukaan lahan Pakel, dokumen itu digunakannya sebagai dasar membuka status tanah Pakel. “ Jadi, jangan sampai surat BPN yang ditujukan ke Forsuba digunakan sebagai dasar dalam polemik tanah Pakel,” tegas Ketua Forum Silaturahmi Komunitas Nahdliyah Ukhwah (Foskanu) ini.

Menurut Abdillah, pihak yang berpolemik dalam tanah Pakel sejatinya perkebunan Bumisari yang memegang sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) dan Forsuba yang menjadi pendamping ahli waris tanah di Pakel. Kedua pihak ini sama-sama memiliki surat dari BPN terkait lahan Pakel.

Pihaknya berharap, status tanah Pakel ini bisa segera gamblang. Meski, saat ini sedang dikuasai perkebunan melalui HGU. “Warga Rukun Tani adalah pihak diluar para pihak yang bersengketa. Saya berharap kegiatan warga di atas tanah negara di Desa Pakel sebaiknya dihentikan dahulu.  Menunggu adanya kepastian hukum pihak yang berhak atas tanah negara tersebut,” tegas Abdillah.

Polemik lahan Pakel mencuat berdasarkan akta 1929. Akta zaman Belanda itu menyatakan lahan pakel dibuka tiga orang atas izin Bupati Banyuwangi Noto Hadi Soerjo. Ketiganya,  Dulgani, Karso dan Senen. Luas lahan yang dibuka kala itu mencapai 3.000 hektar. Dari ketiganya, hanya Dulgani dan Senen yang memiliki keturunan.

Salah satu ahli waris, Rudhi Priyantono berharap polemik lahan Pakel segera menemui titik temu. Pihaknya sepakat jika ada mediasi antara ahli waris dan pihak perkebunan bersama BPN Banyuwangi. “Memang kami memiliki akta 1929 di zaman Belanda. Tapi, akta itu belum pernah didaftarkan kepemilikan tanah ke BPN,” tegas cicit dari Senen ini. (udi)