Surabaya, (pawartajatim.com) – Pengacara korban pencabulan anak dibawah umur mendesak kepolisian agar segera memeriksa dan menahan tersangka. Menurut jadwal Kamis (13/6) besok, JM (70) seorang pendeta di Surabaya yang selama ini dilaporkan mencabuli cucu sendiri akan diperiksa sebagai tersangka oleh Polrestabes Surabaya.

Untuk itu, pengacara atau kuasa hukum korban, Jan Labobar SH., MH, mendesak kepolisian agar segera melakukan penahanan terhadap tersangka. JM merupakan salah seorang pendeta Surabaya yang diduga mencabuli cucunya sendiri.

Statusnya kini naik ke tingkat penyidikan. Bahkan, setelah dilakukan gelar perkara beberapa waktu lalu, JM sudah ditetapkan sebagai tersangka. Rencananya, Kamis (13/6) besok, JM akan diperiksa oleh Unit PPA (Perempuan dan Perlindungan Anak) Polrestabes Surabaya sebagai tersangka.

Sementara, kuasa hukum korban, Jan Labobar SH., MH., mendesak kepolisian agar segera melakukan penahanan. Jika pelaku sesudah diperiksa sebagai tersangka. Hal itu disampaikan Jan Labobar, kepada sejumlah media di Surabaya, Rabu (12/6).

Menurut Jan, jika sudah diperiksa sebagai tersangka maka pelaku harus segera ditahan. Pasalnya, lanjut Jan Labobar, ancaman hukuman dalam peristiwa tersebut cukup tinggi. Yakni, minimal 5 tahun penjara, sesuai dengan pasal 81 UU Perlindungan Anak. Apalagi dalam Undang-undang Perlindungan Anak juga terdapat ancaman denda maksimal Rp 5 miliar.

“Jadi, karena ancaman hukuman yang cukup tinggi dan denda yang cukup besar pula saya minta penyidik tetap independen, realistik sesuai aturan hukum tersebut,” tegas advokat senior Jawa Timur ini.

Pria yang mulai merantau ke Surabaya sejak 1979 lebih ini mengatakan, jika tuntutan korban agar tersangka segera ditahan adalah wajar. Karena hal itu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

“Kita minta penyidik menjalankan itu. Kalau penyidik punya alasan-alasan tertentu, ya kita minta alasan pembenaran itu dikesampingkan. Kita jalankan sesuai UU saja,” jelas Jan Labobar.

Selain mendesak agar tersangka segera dilakukan penahanan, Jan Labobar juga meminta penyidik setelah itu juga memasang police line di Tempat Kejadian Perkara/TKP. Yakni, sebuah rumah di Jalan Kedondong 9B dan Jalan Cempaka No 35 Surabaya.

Mengapa kami minta dilakukan penahanan dan dipasang police line di TKP? Karena selain ancaman hukumannya tinggi, dan jangan sampai melarikan diri, juga supaya tidak menghilangkan barang bukti.

Kuasa Hukum Jan Labobar, SH., MH., (kanan) telah melaporkan peristiwa tindak pencabulan ini ke Polrestabes Surabaya. (foto/dra)

‘’Saya harap penyidik independen dan berada di tengah-tengah, kalau memang salah ya dikatakan salah. Kalau ada alasan pembenaran itu nanti di pengadilan saja,” papar pria asal Maluku ini.

Meski diakui, jika pihaknya selama ini juga mendapatkan tekanan dari beberapa pihak yang mendesak agar mencabut laporan. Memang ada beberapa tekanan dari pihak-pihak tertentu agar pelapor diminta mencabut laporan.

‘’Kepada saya pun ada yang meminta untuk mencabut laporan tersebut. Tapi soal  berdamai atau tidak, kita mengikuti mekanisme yang ada saja. Tentunya harus koordinasi dengan penyidik, apakah kasus ini bisa Restoratif Justice atau tidak? Kalau tidak, ya prosedur yang ada sampai ke pengadilan,” tambahnya.

Seperti diketahui sebelumnya, salah seorang pendeta sebuah gereja di Surabaya, diduga melakukan aksi pencabulan terhadap Melati (nama samaran), yang tak lain masih cucunya sendiri. Tragisnya lagi, perbuatan tak terpuji itu dilakukan sejak Melati masih duduk di kelas 3 SD.

Kasus tersebut kini ditangani Unit PPA (Perempuan dan Perlindungan Anak) Polrestabes Surabaya. Sebelumnya RM, ibu kandung korban yang didampingi kuasa hukumnya Jan Labobar SH., MH.,

mengatakan bahwa peristiwa asusila yang diduga dilakukan pendeta berinisial JM (70) itu terbongkar pada Juli 2023 lalu, saat Melati menginap di rumah tantenya bernama HL yang berada di Sidoarjo.

Melati yang sebelumnya sebagai gadis kecil yang periang mendadak menjadi pendiam. Bahkan, kerap kali terlihat murung dan suka menyendiri. Perubahan perilaku Melati itu tentunya mengundang kecurigaan HL. Apalagi, Melati sempat mengatakan pada HL jika dirinya akan bunuh diri.

“Selain suka diam dan wajahnya murung, anak saya sempat bilang ke tantenya kalau mau bunuh diri saja,” tutur RM. Mendengar penuturan Melati yang polos itu, HL pun kaget. Hingga kemudian HL mengorek keterangan lebih dalam ke Melati, apa yang menjadi penyebab dia mau bunuh diri.

Menurut RM, dari situlah kemudian kasus dugaan pencabulan oleh kakeknya itu terbongkar. Dengan sedikit ketakutan, Melati menceritakan jika dia dicabuli. Bahkan, diperlakukan layaknya hubungan suami istri oleh JM.

Yang menyedihkan lagi, kata RM, aksi ‘tak bermoral’ itu diakui sejak Melati duduk di kelas 3 SD. “Dengan rasa ketakutan anak saya mengaku, perbuatan itu dilakukan kakeknya sejak dia kelas 3 SD,” jelas RM.

Memang saat awal kejadian, diakui RM, dirinya sedang tidak berada di rumah. Dia berada di Manado, dan tidak bisa kembali lantaran tengah diberlakukan PSBB akibat pandemi Covid 19.

“Anak saya  memang tinggal bersama kakek dan neneknya, yang kebetulan kami tinggal satu atap rumah,” ungkap RM dengan mata berkaca-kaca. Setelah HL mendengar pengakuan Melati, HL kemudian memanggil RM, dan menjelaskan semua atas kejadian yang menimpa anak RM tersebut. RM yang diberitahu atas kejadian itu sempat syok.

Apalagi, Melati adalah putri kecil RM satu-aatunya. Hingga kemudian RM bersama kuasa hukumnya Jan Labobar melaporkan kejadian tersebut ke Polrestabes Surabaya, dengan nomor laporan: LP/B/320/III/2024/SPKT/Polrestabes Surabaya/Polda Jawa Timur.

Sementara, menurut Jan Labobar, berdasarkan keterangan korban ke penyidik bahwa awal asusila itu saat Melati tidur sendirian di kamar, yang selama ini dipakai oleh kakek dan neneknya.

Pendeta JM yang sedianya akan membangunkan Bunga untuk mengajak beribadah akhirnya berubah pikiran setelah melihat kemolekan tubuh cucunya. Pendeta JM pun menggerayangi tubuh Melati, seluruh tubuh Melati juga diciumi.

Bahkan, jari Pendeta JM dimasukan ke alat vital Melati. “Awalnya digerayangi, tubuhnya diciumi, kemudian jari-jarinya dimasukan ke alat vital korban. Itu awal kejadian seperti itu berdasarkan pengakuan korban,” tegas Jan Labobar.

Pasca kejadian itu, lanjut Jan Labobar, aksi mesum Pendeta JM semakin brutal. “Berdasarkan pengakuan, pelaku memperdayai korban untuk berhubungan layaknya suami istri di lorong yang menghubungkan rumah pelaku dengan gereja.

Bahkan, diakui juga perbuatan itu dilakukan di dalam Gereja,” ungkap pengacara senior ini menegaskan. Dikatakan Jan Labobar, keluarga korban selain melaporkan hal itu ke kepolisian, juga melaporkan kejadian tersebut ke Majelis Pusat Gereja Gerakan Pentakosta.

Mengingat pelaku merupakan seorang pendeta. Bahkan, Majelis Pusat Gereja Gerakan Pantekosta akhirnya ‘memecat’ JM dari status Pendeta, dengan SK No: 02/SK/MP-GGP/VIII/2023.

Dalam SK tersebut juga disebutkan bahwa perbuatan JM dalam bentuk apapun adalah atas nama pribadi. Selain itu, Majelis Pusat Gereja Gerakan Pentakosta mendesak Majelis Daerah Jawa Timur Gereja Gerakan Pentakosta segera menindak lanjuti mencabut status JM sebagai Pendeta.

“Jadi, yang kita pikirkan juga adalah dampak psikologis anak. Apalagi yang melakukan kakeknya sendiri, yang dekat dengan korban. Ini yang membuat kita sangat prihatin,” tambahnya.

Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya, AKBP Hendro Sukmono,  mengatakan, pihaknya sudah melakukan pemeriksaan atas kasus tersebut. “Selama satu minggu awal ini, kami memeriksa saksi korban. Langkah lain yang kami ambil adalah permintaan visum luar, serta rencana pemeriksaan psikologi,” pungkas dia. (dra)