Surabaya, (pawartajatim.com) – Fosil stegodon gajah purba pertama ditemukan oleh seorang pastor Belanda, Theodor Verhoeven di lokasi Ola Bula (Ngada) pada tahun 1956. Verhaeven adalah seorang guru bahasa Latin dan Yunani di Seminari (lembaga pendidikan calon pastor tingkat SMP dan SMA) Mataloko, dan memiliki minat dalam ilmu prasejarah.
Dia menghabiskan hampir seluruh waktu luangnya untuk mengeksplorasi situs prasejarah di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dia sangat peduli pada artefak (alat batu) dan fosil. Selama tahun-tahun berikutnya Verhoeven juga menemukan sisa-sisa gajah purba dan hewan lainnya di Matamenge dan Boa Lesa.
Pada lokasi Matamenge dan Boa Lesa Verhoeven juga menemukan alat-alat batu primitif yang terkait dengan fosil gajah purba, namun, tidak seperti di Jawa, tidak ada fosil manusia yang ditemukan di Flores untuk dapat mengungkapkan identitas dari pembuat alat batu tersebut.
Pada saat itu, Verhoevern berhasil menemukan 4 buah fosil geraham Gajah Stegodon Flores, 1 buah fosil gading gajah stegodon dan 7.660 buah bagian-bagian tulang stegodon.
Semua hasil penemuan itu saat ini disimpan di Museum Bikon Blewut milik Seminari Tinggi Ledalero, Maumewre, pimpinan Pater Drs. Ansel Doredae, SVD, M. Setelah penemuan itu dan melihat hasil temuan pertama itu, kemudian banyak peneliti Indonesia dan peneliti asing melakukan penelitian ilmiah secara berkala setelah di lokasi Ola Bula (Ngada). Sehingga berhasil lagi menemukanfosil gaja purba pekan lalu berusia 700.000 tahun.
Stegodon berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti “gigi berbentuk atap.” Stegodon adalah sejenis mamalia yang kini punah dan diklasifikasikan sebagai anggota dari Ordo Proboscidea, atau hewan yang mempunyai belalai. Stegodontidae merupakan cabang dari garis keturunan yang mengarah ke gajah modern. Stegodon tertua hidup sekitar 4 juta tahun yang lalu di Asia. Fosil Stegodon tertua telah ditemukan di Thailand, Jepang, Cina dan India.
Berbagai sumber menyebutkan, fosil Stegodon pertama dari Indonesia ditemukan di Jawa, sejumlah besar fosil Stegodon yang digali pada 1890-1892 di Situs Trinil, Jawa Tengah, oleh Dokter Eugene Dubois, yang terkenal karena penemuan Pithecanthropus erectus (sekarang diklasifikasikan sebagai Homo erectus=manusia berdiri tegak).
Usia fosil dari Trinil adalah 900.000 tahun. Stegodon dari Trinil diberi nama ilmiah Stegodon trigonocephalus, yang berarti Stegodon dengan kepala berbentuk segitiga. Stegodon Florensis tinggi badan antara 1.5 – 2 m, gadingnya lebih bengkok dan jumlah lempeng giginya lebih banyak.
Berdasarkan bukti paleomagnetic dan “fission track” dating lapisan abu-abu, usia Stegodon florensis dan asosiasi artefak batu yang terkait berumur di antara 700.000 dan 600.000 tahun.
Gading Jadi Mas Kawin
Motivasi Pater Verhoevemn untuk melakukan penelitian tentang fosil gajah purba ini sebenarnya terdorong oleh tradisi masyarakat Flores khusus di Kabupaten Sika dan Flores Timur yang menjadikan gading gajah sebagai mas kawin.
Sementara pada sisi lain di daratan Flores sendiri juga tidak ada gajah. Kenyataan ini diperkuat lagi dengan teori yang diberikan Wallace menyebutkan di Flores tidak ada gajah dan gajah itu hanya hidup di Indonesia bagian barat.
Dengan penemuan Pater Verhouven ini sekaligus memecahkan teori Wallace tersebut. Dan penemuan itu diperkuat lagi dengan penemuan fosil gajah purba pekan lalu ini. Sementara itu, dalam diskusi virtual kerjasama sama antar Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Universitas Katolik Santu Paulus Ruteng dan Universitas 17 Agustus Surabaya menyimpulkan tradisi gading gajah dijadikan sebagai mas kawin sudah lama ada di Flores dan masih tetap berlangsung hingga sekarang.
“Belis dengan gading di Flores Timur kebanyakan terdapat pada suku Lamaholot sejak dulu sampai sekarang,” tegas Berto Kleden saat itu sebagai salah satu nara sumber dalam diskusi tersebut.
Dan tradisi itu, tambahnya, masih tetap dipertahanlan oleh Suku Lamaholot tersebut. Namun karena jumlah gading yang disimpan oleh masing-masing keluarga atau suku itu sudah semakin berkurang dan ada juga karana rusak, namun sistem belis dengan gading gajah tetap saja berlangsung.
Namun, banyak diantaranya yang dikonversi dengan uang. Status sosial wanita terkadang menjadi ukuran mahal tidaknya belis dengan menggunakan gading tersebut. (yosef sintar)