Surabaya, (pawartajatim.com) – Hidup memang keras, tidak semua keinginan bisa diraih dengan mudah.Tidak peduli anak raja, bangsawan, maupun rakyat jelata. Bahkan, sering kali seorang anak harus dihadapkan pada sebuah pertikaian antar keluarga yang kejamnya mengalahkan ganasnya pertarungan hewan buas di rimba belantara.
Apalagi pertikaian itu disebabkan oleh harta, tahta, atau wanita. Pasti berkepanjangan dan menelan banyak korban, belum lagi kerugian lain yang tak kalah besarnya, terputusnya ikatan persaudaraan diantara keluarga, hal ini menandakan bahwa darah tidak cukup kental untuk merekatkan hubungan antara mereka.
Panji Tohjaya adalah anak sulung dari pasangan Raja Kerajaan Singasari, Ken Angrok yang bergelar Rangga Rajasa Sang Batara Amurwabhumi dan istri selir nya Ken Umang. Panji Tohjaya, memilik tiga orang adik yang bernama Panji Sudatu, Tuan Wregola dan Dewi Rambi.
Selain kawin dengan Ken Umang, Ken Angrok juga memperistri Ken Dedes, dan memiliki anak Mahisa Wungatelang, Ghuningbhaya, dan Dewi Rimbu. Sedangkan, dengan suami sebelumnya yaitu Tunggul Ametung, Ken Dedes memiliki putra Anusapati.
Hubungan kekeluargaan antara Anusapati dan Tohjaya terbilang cukup dekat, karena selain saudara tiri, mereka adalah ipar, karena Anusapati mengawini Dewi Rambi, adik dari Tohjaya. Namun, hal tersebut ternyata tidak menghilangkan perasaan benci yang menggumpal menjadi dendam kesumat di dada Tohjaya.
Hal ini disebabkan karena Anusapati melalui orang suruhannya telah membunuh Ken Angrok ayah kandung Tohjaya. Sebenarnya Anusapati tidak sepenuhnya salah, karena Ken Angrok juga membunuh Tunggul Ametung, ayah kandung Tohjaya.
Mau tidak mau pembunuhan demi pembunuhan antara keluarga telah mengoyak keutuhan Wangsa Rajasa. Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Provinsi Jawa Timur/Jatim bertahun-tahun melakukan penelitian berbagai sumber Sejarah.
Baik prasasti, kitab, kronik, serta cerita tutur yang berkembang di masyarakat, terkait dengan konflik dan huru-hara yang terjadi pada keluarga Wangsa Rajasa, terutama melakukan pendalaman tokoh yang terlibat didalamnya.
“Hutang pati harus dibayar pati, yang artinya hutang nyawa harus dibayar nyawa, itulah yang ada dalam benak Panji Tohjaya,” kata Wakil Ketua Bidang Manuskrip dan Prasasti BKN Jatim, Nanang Sutrisno, kepada pawartajatim.com, Minggu (12/5/2024).
Menurut Kitab Pararaton, Panji Tohjaya membunuh Anusapati di arena judi sabung ayam pada 1348 Masehi dengan menggunakan keris Mpu Gandring. Yaitu, keris yang sama digunakan untuk menghabisi nyawa Mpu Gandring, Kbo Ijo, Tunggul Ametung, Ken Angrok, dan seorang Pengalasan dari Desa Batil.
Seorang pembunuh bayaran yang disewa Anusapati untuk menghabisi nyawa Ken Angrok. Panji Tohjaya, menyadari bahwa dirinya sudah menggiring angin dan pasti akan diterjang badai. Namun, sebagai putra dari Ken Angrok dan Ken Umang yang juga dikenal sebagai pendekar yang pemberani, dia siap menghadapi serangan pembalasan dari anak-anak Ken Dedes yang cenderung berperilaku tidak ramah kepada anak-anak dari Ken Umang.
Andaikata Tohjaya terlahir sebagai arek-arek Suroboyo yang besar pada masa perjuangan menghadapi penjajah Belanda atau Jepang, pasti dia juga akan mengumandangkan seruan atau pekik perjuangan ‘Tali Duk, Tali Layangan, Nyowo Situk, Ilang-ilangan’.
Genderang perang sudah kembali ditabuh dengan keras, Pasukan Singasari yang dikenal kuat , tangguh, dan kompak, kini telah telah terpecah menjadi dua golongan. Yaitu, Pasukan Rajasa dan Pasukan Sinelir.
“Pada awalnya Pasukan Sinelir berdiri di belakang kepemimpinan Tohjaya, namun sikap itu berubah sejak Tohjaya memiliki keinginan menghabisi Putra Anusapati, Ranggawuni, dan putra Mahisa Wungatelang, Mahisa Cempaka,” ujar Nanang Sutrisno, yang juga berdarah Malang ini.
Sebagai bentuk kewaspadaan, Tohjaya, juga membangun benteng pertahanan berupa parit dalam yang melingkari istananya. Walaupun sebenarnya Istana Singasari sendiri sudah cukup aman karena terletak di ketinggian bukit yang dikelilingi oleh benteng alam berupa sungai dengan dinding tinggi dan curam, yang membentang ke selatan dan barat.
Kini, kawasan tersebut menjadi kampung warna-warni yang terkenal. Rangkaian pembunuhan kembali bergulir. Tetapi kali ada yang berbeda dan istimewa, bukan sekedar pembunuhan biasa. Tetapi melibatkan pasukan segelar sepapan dan gelombang perlawanan kekuatan besar itu dipimpin oleh duet cucu Ken Dedes.
Yaitu, Rangwuni dan Mahisa Cempaka yang kelak dikenal dengan julukan sepasang naga dalam satu liang. Tembok dan gerbang istana Singasari yang menjadi simbol kekarnya kekuasaan kerajaan berhasil diruntuhkan.
Pasukan pengamanan istana tidak mampu berbuat banyak. Akhirnya, Tohjaya harus melarikan diri hanya disertai belasan pengawal saja. Kelak keturunan Wangsa Rajasa, yang lain, yaitu Prabu Kertanegara juga mengalami nasib yang sama.
Yaitu, istananya digempur Prabu Jayakatwang, raja negara bawahan gelang-gelang, yang merupakan ipar dan besannya sendiri. Namun, Prabu Kertanegara, memilih bertarung habis-habisan. Walaupun pada akhirnya harus tumbang berguguran bersama pembesar kerajaan yang lain.
Di Katang Lumbang, daerah Lulumbang sekarang, Panji Tohjaya gugur setelah pahanya terluka parah tertembus tombak yang dilemparkan oleh prajurit musuh. Menurut Pararaton, peristiwa tersebut terjadi pada Tahun 1250 Masehi.
Sebelumnya celana Tohjaya sempat melorot hingga terlihat kemaluannya, dalam pandangan masyarakat Jawa,hal ini merupakan sesuatu yang sangat tabu, apalagi dialami seorang raja. Tohjaya, telah berhasil menggiring angin.
Namun, akhirnya harus terhempas dalam pusaran badai, dan kemudian terhempas dari tempat tinggi. Tragedi anak manusia ini akan tetap dikenang sampai akhir jaman. Menurut sebagian orang, terbunuh dalam mempertahankan martabat, harga diri, serta membalas kematian orang tua yang meninggal dunia karena dibunuh selalu mendapat tempat terhormat. (nanang)