Surabaya, (pawartajatim.com) – Setiyawan (50) nasabah dari bank swata nasional memasuki Kantor Wilayah IV Otoritas Jasa Keuangan (Kanwil IV OJK) yang beralamat di Jl. Gubernur Suryo No. 28-30, Surabaya awal Oktober lalu. Dia ditemani kuasa hukumnya dari Ansugi Law. “Hanya ingin berkonsultasi saja sih, karena masalah ini cukup serius. Kasus yang saya hadapi ini terkait pengalihan kredit,” katanya di Surabaya Kamis (19/10).

Kasus yang dihadapi Setiyawan, terkait pengalihan kredit (cessie) yang terjadi tanpa dasar yang jelas dan pelaporan kolektibilitas yang dilakukan sebuah bank swasta nasional kepada dirinya. Pihak perwakilan Kanwil IV OJK  menyambut Setiyawan dan kuasa hukumnya dengan baik.

Perwakilan Kanwil IV OJK bagian Badan Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Heri dan Rafli, menyarankan agar Setiyawan, mengajukan melalui sistem pengaduan resmi. Melalui Ansugi Law, pengaduan ini diajukan pada 5 Oktober 2023 dengan nomor tanda terima 002904.

Hubungan antara Setiyawan dan bank tersebut bermula ketika Setiyawan selaku debitur, menandatangani Perjanjian Kredit Nomor 024/PK/SME-ME/MLG/2016 pada 27 September 2016 dalam bentuk Pinjaman Rekening Koran (PRK) yang mengharuskan pembayaran bunga setiap bulan dan pokok pinjaman di akhir masa perjanjian.

Karena hubungan yang baik antara Setiyawan dengan bank tersebut, perjanjian ini kemudian diperpanjang terus menerus hingga 5 (lima) kali. Namun pada 2021, saat wabah pandemi Covid-19 yang mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat secara drastis.

Pandemi inilah yang kemudian menyebabkan perlambatan ekonomi yang berdampak pada berbagai sektor dan turut mempengaruhi aktivitas keuangan masyarakat, tidak terkecuali Setiyawan sendiri. Setiyawan yang juga terdampak akibat Covid-19 ini, mengalami keterlambatan pembayaran bunga kreditnya pada awal 2021, yang merupakan tahun kelima dari perjanjian kreditnya.

Kendati demikian, Setiyawan selalu beritikad baik dengan melunasi semua kewajiban bunga dan dendanya dalam kurun waktu 120 (seratus dua puluh) hari, tepatnya pada bulan Juni 2021, 4 bulan sebelum jatuh tempo perjanjian kredit. Selama 4 bulan berikutnya, Setiyawan  tidak pernah mengalami gagal bayar dalam pembayarannya.

Masalah mulai muncul ketika Setiyawan tidak mendapatkan kabar mengenai nasib perjanjian kreditnya dari bank tersebut. “Jadi saya sendiri juga nggak tahu itu bakal diperpanjang atau tidak. Sudah coba berkali-kali menanyakan ke bank tersebut tapi nggak ada kejelasan. Akhirnya setelah 20 hari lewat batas waktu kredit baru dikabari,” tuturnya.

Sayangnya tanggapan tersebut tidak juga memberikan kepastian kepada Setiyawan terkait perpanjangan perjanjian kreditnya. Bukan malah kepastian, Setiyawan malah dibuat kaget bukan main ketika Ia menemukan bahwa bank tersebut memintanya untuk melakukan pembayaran dengan jumlah yang jauh lebih besar daripada sebelumnya, dari yang semula Rp 90 juta menjadi Rp 150 juta per-bulannya.

Bank itu juga menjanjikan akan melakukan perpanjangan kredit milik Setiyawan dengan syarat Setiyawan harus memasukan uang sejumlah Rp 150 juta ke rekening escrow bank tersebut untuk setiap bulannya sampai dengan perjanjian perpanjangan ditandatangani.

Tanpa adanya prasangka buruk terhadap bank tersebut, Setiyawan dengan itikad baik bersedia memasukan uang ke dalam rekening escrow bank itu dari Oktober 2022 hingga Agustus 2023 sambil menunggu kepastian mengenai perpanjangan kredit.

Hingga pada akhirnya, tepatnya pada bulan Juni 2023, pihak bank itu menyodorkan perjanjian yang berbeda dari sebelumnya, yakni perubahahan fasilitas kredit dari yang sebelumnya PRK menjadi Pinjaman Transaksi Khusus (PTK).

Tanpa menanyakan lebih banyak, Setiyawan menandatangani perjanjian tersebut. Beberapa hari setelah perjanjian, tiba-tiba bank tersebut menghubungi  Setiyawan bahwa perjanjian tersebut harus direvisi karena terdapat kekeliruan.

Setiyawan melakukan pengecekan dan menemukan bahwa terdapat kekeliruan yang terdapat pada judul perjanjiannya, yakni: “Perjanjian Tanggal Tenor yang Sudah Melewati 2 Tahun Tanpa Jangka Waktu Sebab Beberapa Hal Lainnya.”

Bank tersebut memberikan janji akan melakukan perubahan terhadap perjanjian tersebut dan akan melakukan penandatanganan ulang. Setelah menunggu lama, lagi-lagi pihak bank tidak kunjung memberikan kabar dan kepastian kepada Setiyawan.

Bahkan, Setiyawan telah berkali-kali menghubungi dan menanyakan bank tersebut perihal kapan perjanjian harus direvisi dan ditandatangani ulang. Namun, lagi-lagi tidak ada tanggapan. Khawatir akan hal tersebut, akhirnya Setiyawan menghubungi kuasa hukumnya, Ansugi Law, dan melalui kuasa hukumnya ia menanyakan perihal solusi dari permasalahan yang dihadapinya kepada bank tersebut.

Mengingat kejadian seperti ini terus berulang menimpanya, Setiyawan, menjadi khawatir dan mulai muncul ketidakpercayaan kepada bank tersebut. Pada 1 Agustus 2023, Setiyawan melakukan langkah antisipasi dengan mengajukan permohonan informasi kolektibilitas pinjaman kepada OJK melalui SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan).

Namun, alangkah kagetnya ketika Setiyawan membaca laporan dalam sistem tersebut, yang dimana informasi di dalam memuat keterangan yang tidak benar dan tidak berdasar tentang kolektibilitas kredit debitur selama ini di bank tersebut.

Dalam laporan tersebut Setiyawan dinyatakan dalam kondisi macet (KOL-5), padahal faktanya pembayaran dari Setiyawan selalu lancar. Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pada 7 Agustus 2023, Setiyawan yang diwakili oleh Ansugi Law mengadakan pertemuan dengan bank tersebut cabang Rungkut.

Dalam pertemuan tersebut, tim legal bank tersebut mengarahkan Setiyawan agar Ia mengajukan proposal penawaran terkait dengan penyelesaian permasalahan ini kepada bank tersebut. Setiyawan menyepakatinya dengan mengajukan surat proposal penyelesaian pada 16 Agustus 2023. Namun sayangnya, surat proposal tersebut tidak mendapat tanggapan.

Karena tidak ada tanggapan dari bank tersebut, maka pada 30 Agustus 2023, Setiyawan  melalui Ansugi Law mengirimkan pengingat ke bank tersebut. Hal ini tidak lain didasarkan karena Setiyawan masih memiliki itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan dan menghormati masa mediasi.

Disamping itu, pada 29 Agustus 2023, Setiyawan masih tetap melakukan pembayaran melalui penyetoran uang sebesar Rp 150 juta ke rekening escrow milik bank tersebut. Bukannya menerima surat balasan penyelesaian dari surat proposal yang diajukan, pada 2 September 2023, alangkah terkejutnya Setiyawan, ketika menerima surat dari bank tersebut, berupa surat pemberitahuan nomor 113/VI-DH/LIT/LWO/VIIII/2023 perihal pengalihan piutang (cessie) yang dilakukan oleh bank tersebut terhadap pinjaman kredit tersebut, yang dialihkan ke PT Oke Asset Indonesia.

Hal ini membuat Setiyawan campur aduk, antara kebingungan, geram, dan marah karena secara tiba-tiba hutangnya dialihkan ke pihak lain. Selama ini, Setiyawan sangat percaya akan itikad baik dari bank tersebut.

Sehingga meskipun tidak mendapatkan kejelasan maupun kepastian hukum terhadap perjanjian kreditnya, Setiyawan tidak melaporkannya kepada OJK, dengan harapan agar dapat menyelesaikannya secara kekeluargaan dengan pihak bank tersebut.

Terlebih lagi, pengalihan utang (cessie) ini tidak pernah diperjanjikan sebelumnya, tidak pernah disinggung dalam klausul perjanjian kredit, dan hanya dilandasi oleh peraturan internal bank tersebut yang berbentuk klausula baku. Peraturan ini juga tidak pernah diberikan maupun dibacakan kepada Setiyawan.

Perbuatan bank tersebut jelas melanggar Pasal 34 Peraturan OJK nomor 6/POJK.07/2022, yang mewajibkan tindakan pengalihan hak tagih kepada pihak lain berdasarkan perjanjian kredit atau pembiayaan dengan konsumen wajib dimuat dalam perjanjian kredit atau pembiayaan dan tidak boleh menimbulkan kerugian bagi konsumen.

Belum lagi, pelaporan kolektibilitas milik Setuiyawan yang tidak berdasar dan tidak benar telah menyandera posisinya sebagai konsumen untuk mendapatkan pembiayaan atau kredit dari pihak bank lain.

Akibat dari serangkaian kejadian ini, Setiyawan akhirnya mendatangi Kanwil IV OJK di Surabaya dan bersiap mengambil langkah hukum yang diperlukan terhadap akta cessie, yang dilakukan oleh bank tersebut dan PT Oke Asset Indonesia yang tidak berdasar dan melanggar peraturan OJK nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. (bw)