Menyongsong 2025, Masihkah Bisnis Hotel ‘Menjanjikan’?

Surabaya, (pawartajatim.com) – Prospek bisnis perhotelan di Surabaya Tahun 2025, begini prediksinya. Tahun 2025 tinggal beberapa hari saja. Kondisi ekonomi selama satu tahun kedepan mulai diprediksi oleh para ahli ekonomi. Kondisinya baik-baik saja, atau sedang tidak baik-baik saja.

Berbagai analisa dilakukan. Baik ekonomi makro, kebijakan moneter, kondisi politik, serta kepastian hukum. Faktor diatas tak bisa diabaikan begitu saja, karena tetap membawa dampak perekonomian di daerah.

Contohnya pengumuman kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang disampaikan oleh Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, membuat ketar-ketir pelaku hotel bisnis hospitality/perhotelan di tanah air.

Pasalnya, hotel juga menjual berbagai produk dan layanan yang berpotensi kena PPN karena dianggap masuk kategori barang mewah. Contohnya kamar kelas Presiden Suites serta minuman beralkohol import dari luar negeri.

Beruntunglah kamar hotel tidak termasuk dalam item yang dimaksud pada kebijakan kenaikan pajak menjadi 12 prosen. Beberapa waktu yang lalu, pawartajatim.com melakukan bincang santai dengan General Manager/GM Surabaya Suites Hotel, Firman Permana, di Surabaya Kamis (26/12/2024).

Hotel, seharusnya dipandang dalam dua sisi. Satu sebagai hospitality dan sebagai aset  properti. Dari sisi properti, kenaikan harga tanah Sendy dari tahun ke tahun selalu ada kenaikan. Sedangkan sebagai hospitality juga menguntungkan, karena cukup 50 persen okupansi saja

Tahun 1990-an bisnis hotel di tanah air termasuk di Surabaya mengalami booming. Banyak hotel baru di Bali dan Jogjakarta. Itulah tahun keemasan bisnis hospitality. Didalam analisanya, pejabat general manager yang tergolong senior ini memaparkan bahwa biasanya pada 100 hari pemerintahan, baik pusat maupun di daerah belum ada program yang signifikan.

Kecuali kebijakan pajak yang  disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Untuk belanja kegiatan pemerintah, biasanya efektif dimulai Maret atau April. Kemudian sudah masuk bulan ramadhan, sehingga banyak instansi pemerintah mengurangi aktifitas.dan kegiatan.

Hal Ini jelas berdampak bagi hotel dan restoran. Karena salah satu daya tarik hospitality adalah ballroom. Kenaikan gaji sebesar 6,5 persen sedikit banyak berdampak bagi perkembangan hotel dan restoran.

Daya beli masyarakat tetap terjaga, ditambah lagi budaya konsumtif masyarakat perkotaan yang cenderung senang makan dan jajan di luar. Di Kota Surabaya, walaupun banyak mall dan pertokoan yang tutup, untuk okupansi atau tingkat hunian hotel tetap stabil dan tidak banyak berpengaruh.

“Justru keberadaan apartemen yang disewakan harian harus dibatasi oleh pemerintah. Karena  seharusnya apartemen tidak boleh disewakan harian,” kata Firman, yang asli Arek Suroboyo ini. Tata niaga harga kamar hotel juga perlu diatur.

Seharusnya dalam soal harga kamar, hotel tak boleh bersaing dengan hotel kelas di bawahnya. “Di Kanada aturannya ketat sekali. Dilakukan uji coba dulu, dan kalau okupansi belum mencapai 80 persen maka izin tak dikeluarkan,” tambah Sekretaris Jenderal/Sekjen Persatuan Hotel dan Media (PHMI) ini.

Berkaitan dengan fasilitas yang wajib disediakan oleh hotel, sebenarnya banyak tamu yang toleran terhadap keberadaan fasilitas hotel tersebut. Sehingga fasilitas hotel yang lain tidak banyak berpengaruh, asalkan tamu merasa nyaman dengan kebersihan dan suasana kamar.

Keberadaan Surabaya, sebenarnya bukan sekedar kota transit bagi wisatawan mancanegara dengan tujuan ke Bromo. Tetapi sudah menjadi tempat destinasi tersendiri. “Banyak tamu lokal datang dan menginap di Surabaya untuk urusan pekerjaan. Namun, tidak sedikit tamu mancanegara, khususnya dari Belanda untuk urusan ritual mengunjungi makam leluhur dan tempat bersejarah lainnya,”  ungkap penyuka cerita wayang Adipati Karna dan Kumbakarna ini.

Dukungan dari Pemerintah Kota/Pemkot Surabaya, sangat diperlukan untuk mengembangkan sektor pariwisata perhotelan. Pemkot Surabaya memang telah mengembangkan obyek wisata. Seperti kawasan Kota Lama, tempat konser eks THR, wisata Pantai Kenjeran, wisata laut Romo Kalisari, dan Kebun Binatang Surabaya.

Namun, kata dia, hal tersebut kurang maksimal, perlu dicoba membangun kawasan wisata kelas dunia seperti Dunia Fantasi (Dufan), Sea World, ataupun Jurong Bird Park di Singapura. Seharusnya pemkot tidak reaktif dalam pengembangan sektor pariwisata.

Harus tersistem, bukan sekedar seremonial belaka. Tetapi menitikberatkan kepada follow up. Selain itu perlu meningkatkan sinergi dengan kota besar lainnya dalam hal kerjasama promosi. Wisata pengobatan yang juga sedang digembar-gemborkan oleh pemerintah, seharusnya juga dibarengi oleh kebijakan pengurangan

pajak untuk pengadaan barang  yang digunakan kepentingan upgrade di rumah sakit dalam rangka wisata pengobatan. Salah satu hal yang cukup memberatkan bagi pelaku usaha hotel adalah izin Sertifikat Layak Fungsi (SLF) yang menjadi salah satu syarat usaha hotel.

Walaupun pelaku hotel mengaku menerima persyaratan tersebut karena aturannya sendiri sudah benar sesuai Peraturan Daerah, namun mereka menuntut keterbukaan terhadap biaya pengurusan SLF yang tinggi dan tidak masuk akal.

Kemudian yang seharusnya juga menjadi perhatian Pemerintah Kota Surabaya, adalah penanganan sumber daya manusia (SDM) hotel, pada saat tutup karena pailit. Seharusnya peran  Disnaker nampak dalam proses ini.

Peran dan dukungan Pemkot Surabaya, sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan okupansi hotel yang diprediksi mengalami peningkatan di Tahun 2025. Geliat pertumbuhan sudah terasa mulai November dan Desember 2024. Berbagai acara besar digelar di hotel-hotel Surabaya, terutama acara Natal dan Tahun Baru. (nanang sutrisno)