Menghadirkan Hukum yang Lebih Progresif dan Humanis Melalui KUHP Nasional

Oleh: Ronny Choirul Imam, S.H – Aparatur Sipil Negara/ASN (Mahasiswa S2 Magister Hukum Universitas Negeri Surabaya)

Dinamika hukum di Indonesia dalam perjalanannya selalu berusaha menapaki babak baru. Secara lebih luas, hukum tidaklah bersifat statis. Perkembangan, zaman senantiasa mendorong hukum untuk melakukan penyesuaian pula.

Kendati tertatih-tatih sebagaimana adagium kuno het recht hink achter de feiten aan, hukum senantiasa mengikhtiarkan agar tidak tertinggal jauh dari peristiwa-peristiwa relevan di masyarakat. Hukum dalam hal ini harus selalu bisa menjadi pedoman masyarakat.

  1. Soeroso dalam salah satu karya masyhurnya berjudul Pengantar Ilmu Hukum mengatakan hukum berperan menghubungkan manusia dengan manusia yang lainnya. Seperti menikah atau berdagang, serta menghubungkan manusia dengan benda (terkait alas hak).

Maka untuk mendukung hukum sebagai alat pengatur tata tertib di masyarakat, relevansi keberadaan hukum harus dipastikan tetap terjaga. Setelah lebih dari tujuh puluh tahun Indonesia menggunakan kodifikasi peraturan pidana adopsi pemerintah kolonial Belanda, kini dalam rangka menjaga relevansi hukum pidana di Tanah Air, lahir satu produk strategis baru: KUHP Nasional.

Undang-Undang/UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP Nasional telah disahkan sejak dalam Sidang Paripurna DPR RI ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022—2023 pada Selasa (6/12/2022).

Sebutan KUHP Nasional sendiri tidak lepas dari semangat dekolonisasi atau upaya beranjak dari UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana yang mengadopsi Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie alias kitab undang-undang hukum pidana buatan Belanda menuju produk hukum murni buatan bangsa Indonesia.

Sekilas untuk diketahui, KUHP existing atau KUHP yang tengah berlaku sekarang merupakan adaptasi dari kodifikasi hukum oleh Belanda yang diberlakukan di yurisdiksi Indonesia ketika masih dijajah Belanda.

KUHP Nasional sendiri rencananya mulai berlaku penuh pada 2 Januari 2026. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang kala itu sebagai pihak dari pemerintah yang turut membahas, Yasonna Hamonangan Laoly, mengatakan KUHP Nasional sebagai karya anak bangsa yang membanggakan dan patut diapresiasi terlepas adanya pro dan kontra yang membersamai.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej, juga menyebut KUHP Nasional sebagai bentuk penerapan hukum pidana modern yang lebih mengedepankan keadilan korektif dan restoratif.

Pria yang karib disapa Prof. Eddy, ini menegaskan KUHP Nasional memuat napas demokratisasi dan reintegrasi sosial. Demokratisasi yang dimaksud adalah KUHP Nasional lebih menghormati hak asasi manusia/HAM dengan menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Sementara reintegrasi sosial terdapat pada KUHP Nasional yang mengesampingkan pidana penjara sebagai opsi utama dan lebih mengusahakan alternatif pemidanaan yang humanis. Pada intinya, KUHP Nasional mengusung semangat evaluasi bagi pelaku tindak pidana.

Alih-alih hanya semata menghukum dan memberi efek jera (lex talionis). Bagaimana kita harus memaknai spirit KUHP Nasional ini? Satu kutipan kalimat yang tak lekang oleh waktu dari Prof. Satjipto Rahardjo, tokoh hukum dari Universitas Diponegoro, ‘Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum’. Bapak Hukum Progresif Indonesia itu menekankan keberadaan hukum sebisa mungkin diciptakan untuk menyejaterahkan, mengayomi dan membawa kemaslahatan bagi manusia.

Bukan malah manusia yang terkekang, terepresi, tereduksi dan terbatas keberlangsungan hidupnya karena hukum. KUHP Nasional menjadi contoh nyata bagaimana manifestasi petuah figur para Tjiptian itu dalam membumikan hukum untuk masyarakat.

Selain itu, KUHP Nasional juga makin memberi penegasan terkait hal-hal yang dirasa normanya masih mengambang, kekaburan tafsir, sampai apa, dimana, dan bagaimana saja sesuatu bisa dengan lugas dinyatakan tindak pidana.

 Ambil satu contoh pasal mengenai KUHP Nasional yang lebih mengedepankan hukum yang progresif. pasal 53 ayat (2) dengan tegas menyatakan, ‘Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan’.

Prof Eddy bersama dengan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Topo Santoso dalam buku berjudul Anotasi KUHP Nasional menjelaskan jika kepastian dan keadilan dalam hukum merupakan dua tujuan yang kerap kali tidak sejalan.

Hal ini disebabkan ketidaksempurnaan peraturan perundang-undangan yang oleh karenanya harus diatasi dengan penafsiran hakim demi menyelamatkan aspek keadilan yang makin terdesak. Dalam hal penafsiran hakim ini, bilamana terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan dalam konteks penerapan peraturan, maka hakim sebisa mungkin harus mengutamakan keadilan.

Ini sejalan dengan konsep Radbruch Formula yang menekankan hakim memiliki kewajiban moral dan etis untuk menjaga keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum dalam mengambil keputusan.

Contoh lain, pasal 2 KUHP Nasional. Masih menukil Prof. Eddy dan Topo Santoso, di dalam KUHP existing, belum ada pasal yang eksplisit memberikan ruang tafsir yang proporsional untuk merekognisi hukum adat.

Sementara di KUHP Nasional, pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) mengenalkan istilah ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ dalam upaya mengakui keberadaan hukum adat. Prof. Eddy dan Topo Santoso menekankan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ sebagai nilai-nilai tidak tertulis yang diamini masyarakat’.

Baik secara adat istiadat maupun kehidupan sehari-hari. Hukum adat dalam praktiknya rerata terjelma dalam keadaan tidak tertulis. Menurut F.D. Holleman yang dikutip oleh Hilman Hadikusuma dalam bukunya berjudul Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, hukum adat adalah norma-norma hidup yang disertai sanksi dan yang jika perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan agar ditaati dan dihormati oleh warga masyarakat.

Sistematisasi hukum adat kemudian lebih ditegaskan dalam KUHP Nasional bahwa hukum adat lantas tidak bisa dikesampingkan oleh hukum positif begitu saja, melainkan apabila KUHP Nasional tidak memuat normativitasnya secara eksplisit maka pada kondisi tertentu “hukum yang hidup dalam masyarakat” ini bisa ditegakkan.

Tentu saja Pasal 2 KUHP Nasional dalam praktiknya sangat ketat dibatasi oleh Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Prinsip-Prinsip Umum Hukum yang Diakui oleh Bangsa Bangsa (General Principles of Law). Hukum adat atau “hukum yang hidup dalam masyarakat” itu juga harus diteguhkan dengan diatur oleh peraturan daerah dan peraturan pemerintah. Walaupun masih berlaku pada 2026, implementasi semangat KUHP Nasional telah mulai diterapkan.

Kakek Masir, terdakwa dugaan pencurian lima ekor Burung Cendet di Kawasan konservasi Taman Nasional Baluran, mengalami perubahan tuntutan yang semula dua tahun penjara menjadi ‘hanya’ enam bulan penjara.

Kejaksaan Negeri Situbondo melalui Jaksa Penuntut Umum menjelaskan adanya revisi tuntutan tersebut karena melaksanakan amanat KUHP Nasional. Pasal 40B ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menjerat orang perseorangan yang mengambil dan/atau memindahkan benda apa pun baik hidup maupun mati secara alamiah berada di kawasan pelestarian alam dipidana penjara paling lama sepuluh tahun dan paling singkat dua tahun.

Jaksa Penuntut Umum pun kemudian mempertimbangkan KUHP Nasional, alih-alih Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sebagai dasar penuntutan Kakek Masir mengingat tidak lama lagi KUHP Nasional berlaku.

Di sini dihidupkan semangat lex favor reo yang artinya jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, maka yang digunakan adalah aturan yang paling meringankan. Perubahan peraturan perundang-undangan yang dimaksud di sini tidak hanya menyangkut peraturan hukum di luar pidana, namun juga memiliki keterkaitan dengan hukum pidana.

Pasal 3 KUHP Nasional sendiri mengusung landasan filosofis lex favor reo. KUHP Nasional juga mengenalkan pidana kerja sosial yang diatur dalam Pasal 85. Pidana kerja sosial sendiri merupakan pidana alternatif yang dikenakan pada terdakwa yang ancaman pidananya kurang dari lima tahun dan hakim yang memvonisnya dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp10 juta).

Penjatuhan pidana kerja sosial pun harus berdasarkan persetujuan terdakwa, mengacu pada Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 1950. Tujuan daripada pidana kerja sosial ini adalah memberikan kesempatan kedua (second chance) kepada terdakwa dalam rangka mendorong keadilan restoratif (restorative justice), mengurangi muatan berlebih (over capacity) lembaga pemasyarakatan, sampai memastikan agar terdakwa ketika masa hukumannya selesai dapat kembali berdampak baik untuk tatanan lingkungan.

Praktik pidana kerja sosial sendiri telah dikenal di Belanda dengan istilah dienstverlening dan di Inggris dengan sebutan community service. Penjatuhan pidana kerja sosial sendiri harus sudah memastikan sifat pekerjaan sosial yang dilakukan itu bersesuaian dengan tindak pidana yang dilakukan terpidana.

Selain itu, hakim dapat menjatuhkan pidana kerja sosial jika sudah memastikan terdapat institusi yang bersedia memberikan pekerjaan sosial tersebut kepada terpidana. Dengan demikian, pendekatan KUHP Nasional dalam reformasi materiel pidana di Indonesia telah cukup kontributif dalam mewujudkan hukum yang lebih progresif dan humanis.

Seperti mana dikatakan oleh Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Mengenal Hukum Suatu Pengantar, hukum adalah pedoman yang berisi serangkaian peraturan yang menghendaki keseimbangan antara perilaku dan perlindungan hak-hak untuk menciptakan ketertiban dalam tatanan masyarakat. (*)