Surabaya, (pawartajatim.com) – Menyibak kemelut tahta Singasari. Mahisa Wungatelang adalah putra pertama pasangan Ken Angrok dan Ken Dedes, dia memiliki saudara yaitu Dewi Rimbu, dan Ghuningbhaya.
Selain memiliki saudara kandung, Mahisa Wungatelang juga memiliki saudara satu ibu tetapi beda ayah yaitu Anusapati yang merupakan putra Akuwu Tunggul Ametung, dan saudara satu ayah beda ibu, antara lain Mapanji Tohjaya, Dewi Rimbi, Tuan Wregola, dan Panji Sudatu.
Sebagai keturunan Ken Angrok yang berasal dari Kasta Ksatria dan Ken Dedes yang merupakan golongan Brahmana, Mahisa Wungatelang tumbuh menjadi sosok lelaki memiliki wajah tampan dan postur tubuh yang tinggi kekar, dengan dada dan perut bidang.
Bukan hanya itu, lelaki yang kelak menurunkan raja-raja Singasari dan Majapahit ini, juga memiliki tingkat kecerdasan yang sangat sempurna, serta mempunyai sifat dan sikap menghormati, menghargai, dan mengayomi kepada siapapun.
Karena itu Prasasti Mula Malurung menggambarkan sosoknya sebagai adiguru yang dihormati oleh para Brahmana pemuka agama dan Ksatria dari berbagai kerajaan di Jawa Dwipa. Pengurus Badan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Timur (BKN-Jatim), Nanang Sutrisno, berhasil menafsir ulang nama Mahisa Wungatelang.
Selama ini banyak yang menyebut Mahisa Wong Ateleng atau Mahesa Wong Ateleng. Nama ini jelas berbeda penyebutan dan artinya. “Yang benar Mahisa Wungatelang, artinya Kerbau kuat dan Bunga Telang. Terjemahan bebasnya : Sosok kuat yang dibutuhkan karena membawa kesembuhan dan kebahagiaan,” kata Wakil Ketua Bidang Manuskrip Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Jawa Timur, Nanang Sutrisno, di Surabaya Senin (22/4/2024).
Pada Tahun 1222 Masehi, Ken Angrok yang menjabat sebagai Akuwu Tumapel berhasil mengalahkan Kerajaan Kadiri yang dirajai oleh Dandang Gendis yang bergelar Prabu Kertajaya. Kemudian Ken Angrok mendirikan Kerajaan Singasari yang berpusat di Malang sekarang, dan menjadikan Kadiri sebagai negara bawahan.
Kemudian Ken Angrok menempatkan putra kesayangannya sebagai raja disana dan bergelar Batara Prameswara. Ken Angrok juga memberikan gelar Yuwaraja atau putra mahkota, sebagai persiapan kelak untuk menggantikan Ken Angrok di Singasari.
Keputusan ini memicu ketidakpuasan Anusapati, putra Ken Dedes dari suami Tunggul Ametung, ketidakpuasan kemudian bertumbuh menjadi ketidaksukaan, dan celakanya Ken Dedes turut menumbuhsuburkan perasaan itu menjadi kebencian dan dendam kesumat.

Bahkan secara tersirat Ken Dedes menyuruh menuntaskan dendam kesumat tersebut seraya menyerahkan keris Gandring yang selama ini disimpannya rapat-rapat. Sejarah mencatat bahwa Ken Angrok mangkat pada hari Kamis Pon, Waktu Landep, sore hari, Tahun 1247 Saja atau 1227 Masehi.
Setelah dibunuh oleh seorang Pengalasan dari Desa Batil yang merupakan orang suruhan Anusapati. Dan tak lama kemudian Ken Dedes menobatkan Anusapati, putranya itu sebagai raja Singasari, menggantikan Ken Angrok. Perempuan dari Panawijen itu berhasil mengamankan jalannya suksesi atas tahta Singasari tanpa hambatan yang berarti.
Namun ternyata ketidakpuasan tumbuh di benak Mahisa Wungatelang dan juga Mapanji Tohjaya, sebab bagaimanapun juga Ken Angrok adalah ayah mereka. Hubungan mereka berdua juga sangat akrab, selain saudara seayah, mereka juga ipar.
Sebab Dewi Rimbi saudara perempuan Tohjaya dikawini oleh Mahisa Wungatelang. Perkawinan ini terjadi pada 1226 Masehi. Kuatir keadaan ini menjadi liar, maka Ken Dedes segera turun tangan untuk mendamaikan kedua putra kandungnya itu.
Akhirnya kedua raja bersaudara itu berdamai, dan mereka hidup rukun berdampingan memimpin kerajaannya masing-masing serta berjanji tidak akan saling menyerang satu sama lain. Perubahan keadaan yang begitu cepat ini tentu saja membuat Tohjaya kelimpungan.
Maksud hati ingin membalas dendam kepada Anusapati mengalami jalan buntu, jika dia nekat menjalankan aksinya, dia akan juga berhadapan dengan Mahisa Wungatelang yang sudah berubah sikap.
“Mapanji Tohjaya rupanya juga gentar jika harus berhadapan dengan Mahisa Wungatelang yang memiliki pengaruh kuat,” jelas Nanang, yang juga Ketua Komunitas Majapahit Bhumi Wilwatikta, yang merupakan wadah penggiat sejarah ini.
Akhirnya Tohjaya harus menunggu waktu yang tepat untuk membalaskan dendamnya tersebut, dia menyimpan rapat-rapat dalam hatinya hingga bertahun-tahun. Pernikahan Mahisa Wungatelang dan Dewi Rimbi melahirkan beberapa putra dan putri, antara lain Mahisa Cempaka atau Batara Narasinghamurti, Panji Anengah, dan Dewi Wahningyun, yang kelak menjadi permaisuri Mapanji Smingrat atau Wisnu Wardhana,raja Singasari, putra Anusapati.
Mahisa Wungatelang yang bergelar Batara Prameswara tutup usia pada 1248 Masehi dan didharmakan di Kalangbrat Tulungagung, Tahta Kadiri kemudian dilanjutkan oleh Ghuningbhaya, adik kandung Mahisa Wungatelang.
Namun, pemerintahan Ghuningbhaya tidak lama, hanya 2 tahun saja. Karena ternyata Tohjaya yang selama ini menyimpan dendam kesumat memanfaatkan waktu untuk melakukan kudeta dan menghabisi riwayat Ghuningbhaya.
Kemudian Tohjaya menjadi raja Kadiri. Rupanya rangkaian pembunuhan dan pemberontakan tidak berhenti sampai disini, karena kemudian Tohjaya melanjutkan dendam kesumat kepada keturunan Ken Dedes yang dianggap telah berlaku curang terhadap dirinya.
Pararaton menceritakan bahwa di tempat kalangan adu ayam Tohjaya berhasil membunuh Anusapati dengan Keris Gandring. Lagi-lagi pusaka bertuah ini harus menghirup darah keluarga Wangsa Rajasa. Karena takut menjadi korban pembunuhan berikutnya, Ranggwuni atau Wisnu Wardhana yang merupakan putra Anusapati bergabung bersama Mahisa Cempaka, putra Mahisa Wungatelang ini juga merasa terancam dengan tindakan Tohjaya.
“Kedua cucu Ken Arok ini bergabung menjadi satu kekuatan untuk melawan Tohjaya,” tambah Nanang, yang juga kolektor keris ini. Dibawah perlindungan Panji Pati-Pati yang merupakan salah seorang pejabat asal Daha, kedua cucu Ken Dedes ini berhasil menghimpun kekuatan pasukan Rajasa dan Sinelir yang sempat berselisih menjadi satu kekuatan yang berhasil mengalahkan Singasari.
Tohjaya terluka dalam pelarian, karena kakinya tertusuk tombak, tepat di Karang Lumbang Tohjaya menghembuskan nafas terakhir. Kedekatan Ranggwuni dan Mahisa Cempaka sangat erat, karena selain sepupu, mereka ternyata juga ipar, Ranggwuni menikah dengan Dewi Wahningyun, adik Mahisa Cempaka.
Rupanya semasa hidup Ken Dedes berhasil meyakinkan kedua putranya yaitu Anusapati dan Mahisa Wungatelang untuk melakukan pernikahan putra -putri mereka. Pararaton menggambarkan pemerintahan yang dijalankan Ranggwuni dan Mahisa Cempaka di Singasari, seperti sepasang naga dalam satu sarang.
Mahisa Cempaka menjadi pendamping Ranggwuni, dan bergelar Ratu Angabhaya atau panglima perang. Setelah mengalami prahara berkepanjangan akibat perebutan tahta Kerajaan Singasari dan Kadir, akhirnya keadaan kembali pulih dibawah pemerintahan Ranggwuni dan Mahisa Cempaka. Keturunan Mahisa Wungatelang semua berhasil menjadi para pembesar Kerajaan Singasari, Mahisa Cempaka menjadi raja pendamping, Dewi Wahningyun menjadi permaisuri, Panji Anengah menjadi Patih.
Kelak cucu Mahisa Cempaka yang bernama Sangramawijaya berhasil mendirikan Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan besar penguasa Nusantara. (nanang)