KUHAP Baru dalam Perspektif Hak Asasi Manusia pada Kasus Richard Eliezer

Oleh: Distriana Ignatia Devieta, S.H (Mahasiswa S2 Hukum Universitas Negeri Surabaya)

Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP merupakan upaya essensial dalam pembenahan sistem peradilan pidana di Indonesia. Pembaruan ini menandai pergeseran paradigma fundamental dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Namun, setiap perubahan yang secara langsung menyentuh kebebasan dan hak-hak fundamental warga negara harus diuji secara selektif terhadap standar Hak Asasi Manusia/HAM yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar/UUD 1945 dan instrument HAM Internasional.

Suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan HAM maupun UUD 1945. Pada pasal 1 angka 16 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/RKUHAP mendefinisikan mengenai Pengakuan Bersalah atau (Plea Bargain), yang memiliki arti ‘mekanisme hukum bagi terdakwa untuk mengakui kesalahannya dalam suatu tindak pidana dan kooperatif dalam pemeriksaan dengan menyampaikan bukti yang mendukung pengakuannya dengan imbalan keringanan hukuman’. Plea Bargain diatur lebih lanjut pada Pasal 78 RKUHAP.

Melalui mekanisme pengakuan bersalah (guilty plea) yang diatur dalam RKUHAP, Terdakwa didorong untuk mengakui perbuatannya dan bersikap kooperatif sejak awal proses peradilan. Pengakuan bersalah ini memiliki konsekuensi prosedural yang signifikan.

Ia membuka peluang perubahan jenis acara pemeriksaan dari yang semula menggunakan acara pemeriksaan biasa menjadi acara pemeriksaan singkat. Ketentuan ini merupakan perbedaan fundamental dengan KUHAP lama, yang tidak mengenal atau memfasilitasi perubahan jenis acara pemeriksaan setelah persidangan dimulai.

Penerapan ketentuan pasal 78 RKUHAP menciptakan titik balik signifikan dalam alur pemeriksaan perkara. Ketika mekanisme ini diaktifkan dan hakim memutuskan untuk menerima pengakuan bersalah yang diajukan oleh terdakwa, terutama setelah dipastikan bahwa pengakuan tersebut bersifat sukarela dan telah didukung oleh bukti permulaan yang kuat.

Maka secara otomatis unsur “kesulitan pembuktian” yang melekat pada perkara tersebut menjadi gugur. Konsepsi ini mengubah secara fundamental perspektif yudisial terhadap bobot dan prosedur perkara.

Dengan adanya pengakuan yang diterima, perkara pidana yang ancaman hukuman minimumnya 5 (lima) tahun atau lebih yang seharusnya diproses melalui acara pemeriksaan biasa secara prosedural bermetamorfosis menjadi perkara yang dapat dikategorikan sebagai memiliki ‘pembuktian yang mudah’.

Perubahan klasifikasi ini menjadi kunci peralihan jenis acara pemeriksaan, karena ia telah memenuhi salah satu kriteria esensial dari acara pemeriksaan singkat sebagaimana didefinisikan secara eksplisit dalam Pasal 257 ayat (1) RKUHAP.

Dengan demikian, pengakuan bersalah dalam konteks ini berfungsi sebagai katalis prosedural yang memungkinkan peradilan mencapai efisiensi melalui penyederhanaan tahapan pembuktian.

Permasalahan sering muncul ketika terdakwa yang telah menunjukkan niat baik melalui pengakuan bersalah atas suatu tindak pidana maupun dengan memberikan informasi yang terang benderang mengenai kejadian tindak pidana sehingga bertindak sebagai Justice Collaborator justru dijatuhi sanksi yang berat atau maksimal.

Disparitas hukuman ini terjadi karena secara normatif, instrumen Plea Bargain secara formal memang belum diatur dalam kerangka hukum pidana Indonesia, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981.

Akibatnya, pengakuan terdakwa dan kerja samanya tidak selalu memiliki dampak yang signifikan dan mengikat terhadap keringanan hukuman dalam proses pengambilan keputusan oleh hakim. Seperti dalam kasus Richard Eliezer.

Pada kasus pembunuhan Brigadir J, Kesaksian yang disampaikan oleh Richard Eliezer berfungsi sebagai bukti kunci yang mengikat dalam persidangan, memberikan fakta-fakta penting yang komprehensif dan detail kepada majelis hakim.

Kontribusi esensial ini memandu dan membantu para hakim dalam mengevaluasi kebenaran materi perkara secara mendalam, sehingga menjadi dasar yang kuat untuk menetapkan vonis, apakah terdakwa terbukti bersalah atau sebaliknya.

Justice Collaborator adalah pelaku yang secara langsung terlibat namun bersedia bekerjasama untuk membuka  kejahatan tersebut. Sehingga seharusnya dijamin untuk mendapatkan kompensasi, perlakuan khusus dari negara, perlindungan keamanan baik fisik maupun psikologis, serta dipastikan memperoleh jaminan hukum yang memadai sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sebagai bentuk apresiasi atas peran mereka dalam membongkar tabir kejahatan.

Dalam pengakuan dan kerjasama antara Richard Eilizer dengan Aparat Penegak Hukum, maka keadaan ini dapat meringankan hukuman yang semula tuntutan jaksa mencapai 12 tahun penjara, sehingga vonis dijatuhkan hanya 1 tahun 6 bulan penjara, artinya hukuman tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa.

Dalam KUHP ataupun KUHAP lama tidak mengenal dan tidak mengatur istilah Plea Bargaining, namun dalam praktik ini mirip dengan konsep Plea Bargain yang memberikan keringanan hukuman kepada terdakwa yang telah memberikan keterangan yang sebenarnya serta membantu Aparat Penegak Hukum dalam pengungkapan kasus.

Dari perspektif HAM, prinsip mendasar yang wajib dijunjung tinggi adalah bahwa penahanan hanya boleh diterapkan sebagai langkah terakhir (ultimum remedium) dan dilaksanakan dalam jangka waktu yang sesingkat mungkin.

Penahanan pada tahap pra-ajudikasi, yakni sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, merupakan pembatasan yang bersifat pengecualian terhadap hak atas kebebasan. Oleh karena itu, hukum acara pidana harus menempatkan penahanan secara ketat dan hanya untuk kepentingan yang benar-benar mendasar.

Seperti mencegah tersangka melarikan diri, menghilangkan alat bukti, atau mengulangi perbuatan pidana. Perpanjangan masa penahanan yang berlarut-larut, maupun mekanisme perpanjangan yang bersifat otomatis dan tidak akuntabel, merupakan pelanggaran serius terhadap hak untuk tidak dirampas kebebasannya tanpa alasan yang sah serta melemahkan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence).

Penahanan yang berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa kepastian hukum dan putusan pengadilan mendorong terbentuknya persepsi publik bahwa yang bersangkutan telah bersalah.

Kondisi ini tidak hanya mencederai reputasi, tetapi juga berdampak pada hak-hak sosial, ekonomi, dan psikologis individu tersebut, sekalipun pada akhirnya dinyatakan tidak bersalah. (*)