Surabaya, (pawartajatim.com) – Hari ulang tahun Kota Surabaya yang diperingati setiap 31 Mei memiliki hubungan yang sangat erat dengan berdirinya Kerajaan Majapahit. Memang peristiwa heroik pengusiran Tentara Tartar di Ujung Galuh atau Churabhaya yang dijadikan dasar hari ulang tahun Surabaya merupakan satu rangkaian dengan sejarah berdirinya Majapahit.

Berdasarkan Prasasti Kudadu atau yang juga dikenal dengan nama Prasasti Gunung Butak berangka tahun 1294 Masehi. Disebutkan bahwa Nararya Sangramawijaya/Raden Wijaya mendapat tugas dari mertuanya Prabu Kertanegara, Raja Singhasari untuk memadamkan pemberontakan Prabu Jayakatwang yang merupakan raja bawahan dari Kerajaan Gelang-gelang yang terletak di Murawan, Dlopo, Madiun sekarang.

Semula Raden Wijaya dan pasukannya yang bermaksud menumpas pasukan pemberontak, justru akhirnya menjadi pihak yang diburu dan dikejar-kejar musuh. Hal ini disebabkan karena Raden Ardharaja yang juga menantu Prabu Kertanegara membelot bersama pasukannya, dan memihak Prabu Jayakatwang yang merupakan ayah kandungnya.

Pasukan Gelang-gelang pertama kali menerobos desa Mameling, dan Pasukan Raden Wijaya terlibat pertempuran  dan akhirnya kejar kejaran dengan musuh di Lembah, Jasun Wungkal, Rabut Carat, Kedung Peluk, Hanyiru, kambangsri, Pamwatan Apajeg, dan berhasil menyelamatkan diri di Kudadu, hingga akhirnya menyeberang  ke Songeneb  (Sumenep) di Pulau Madura melalui Rembang.

“Nama nama tempat yang menjadi rute pelarian Raden Wijaya, sebagian masih bisa dikenali hingga sekarang,” kata Pengurus Bidang Manuskrip dan Prasasti Badan Kebudayaan Nasional (BKN) PDI Perjuangan Jatim, Nanang Sutrisno, kepada pawartajatim.com Minggu (19/9).

Misalnya, Jasun Wungkal itu Watu Kosek dekat Gempol, Pamwatan Apajeg adalah Pamotan di Sidoarjo, Kudadu itu Kedurus, dan Rembang adalah Krembangan. Kedua tempat  disebut terakhir berada di Kota Surabaya.

Kudadu, Badander, Sukamerta Wringin Pitu, dan Jiwu adalah nama desa yang disebut langsung dalam Negarakertagama, dan memiliki status swatantra atau perdikan. Bahkan, nama Kudadu disebut berkali-kali dalam Prasasti Kudadu dan Kidung Harsawijaya.

Hal ini, dikarenakan sikap ramah yang ditunjukkan oleh Kepala Desa Kudadu yang bernama Ki Buyut Macan Kuping saat menerima pelarian Raden Wijaya bersama 12 pengikutnya yang bernama Sora, Gajah Pagon, Wirota Wigati, Medang Dangdi, Rakai Pamandana, dan lain-lain.

Mereka tidak hanya diberi perlindungan, tetapi juga diberikan makanan, bahkan juga menyediakan tempat persembunyian bagi Gajah Pagon yang terpaksa ditinggalkan karena terluka parah akibat tusukan tombak.

“Nama Ki Buyut Macan Kuping mirip dengan nama Macan Kunting yang menjadi legenda bagi masyarakat Kedurus dan sekitarnya,” jelas alumni Unair ini. Saat ini di Kampung Kedurus terdapat punden  atau teteger berupa sumur tua  berdiameter 60 cm X 49 cm yang dikeramatkan oleh penduduk.

Karena itu, sumur tersebut ditutupi dengan kain. Konon sumur itu memiliki kesamaan dengan prasasti Kudadu, yaitu ber angka tahun 1294 Masehi. Jika keberadaan desa Kudadu  benar berada di  Kedurus, maka  juga memiliki kaitan dengan Gajah Mada, karena ada beberapa ahli sejarah berkeyakinan bahwa Gajah Mada merupakan putra dari Gajah Pagon yang merupakan menantu dari Ki Buyut Macan Kuping.

Bahkan, ada juga ahli yang berpendapat bahwa Gajah Pagon merupakan putra Prabu Kertanegara dari  istri selir. Hal ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa Gajah Mada saat melakukan renovasi Candi Singhasari, menyebut pembangunan kembali Candi tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap Prabu Kertanegara  yang merupakan leluhurnya.

Selain Kudadu, nama lain yang disebut dalam Negarakertagama adalah Bukul (Bungkul) Bobot Tegalsari (Pulo Tegalsari) dan Gesang (Pagesangan). Nama tempat-tempat itu disebut merupakan desa yang berada di pinggiran Sungai Brantas.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, bahwa tujuan dari dibuatnya peraturan ini untuk  ketahanan desa dalam rangka ketahanan nasional, serta memakmurkan desa baik dari segi ekonomi maupun sosial budayanya.

Anggota Komisi A DPRD Jatim dari Fraksi PDI Perjuangan, Yordan Mailano Batara Goa, saat berkunjung di Kedurus, menyebutkan bahwa sesuai undang-undang desa, Pemerintah berkewajiban memperhatikan ketahanan dan kemajuan desa termasuk Kedurus yang merupakan desa Swatantra sejak zaman Majapahit. (nanang)