Surabaya, (pawartajatim.com) – Berbekal menawarkan proyek besar dengan modus investasi, dua bos PT GTI (Garda Tematek Indonesia) diduga kuat melakukan penipuan atau ngemplang uang hingga ratusan miliar. Kini, keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jatim.
Salah satu korbannya adalah LS (71) seorang pengusaha asal Surabaya. Kuasa hukum korban, Dr Martin Suryana SH MHum, mengatakan, kasus tersebut berawal ketika LS kenal dengan salah seorang marketing bank swasta ternama. Kebetulan LS merupakan nasabah prioritas.
Dari perkenalan itu, LS kemudian dikenalkan marketing tersebut ke Greddy Harnando, yang belakangan diketahui sebagai Komisaris PT GTI. Hingga perkenalan pun berlanjut ke Indah Catur Agustin, yang menjabat Direktur PT GTI.
Dari situlah kemudian LS ditawari untuk berinvestasi ke PT GTI dengan janji keuntungan berlipat dari proyek yang dikerjakan dengan sistem purchase order (PO). “Nah, dari PO itu klien kami selaku investor merasa yakin bahwa memang ada proyek,” kata Martin, di kantornya Kawasan Margorejo Surabaya, Rabu (5/6).
Untuk lebih meyakinkan LS, tambah Martin, kedua bos PT GTI itu menunjukkan PO dari King Koil, sebuah merk perusahaan ternama. Sehingga PT GTI memerlukan banyak modal untuk mengerjakan proyek tersebut.
Pria yang juga dosen ini menjelaskan, saat itu LS ditawari berbagi keuntungan. Skema keutungan itu, pada bulan pertama sebesar 1 persen. Dan, pada bulan kedua sebesar 1 persen + 3 persen, ditambah uang pokok dikembalikan secara penuh.
“Pada awal-awal memang berbagai keuntungan itu diberikan seperti yang dijanjikan. Dan berlangsung aman sampai enam bulan pertama. Tapi mulai pada bulan berikutnya modal pokok tidak dikembalikan dengan alasan ada proyek yang lebih besar dan menjanjikan,” jelas Martin.

Pada Oktober 2020, lanjut Martin, kedua pelaku meminta LS supaya uang pokok yang diinvestasikan dibuat skema roll over atau kontrak perdagangan yang diteruskan pada hari berikutnya sampai dilakukannya penutupan posisi.
“Saat itu klien kami percaya tanpa ada prasangka karena pembayaran pokok dan keuntungan sejak Mei 2020 lancar,” tandanya. Setelah disepakati sistem roll over itu, LS kemudian menggelontorkan dananya hingga Rp 230 miliar.
Namun, pada April 2022 kecurigaan pun mulai muncul. Dikatakan Martin, saat itu kliennya sudah tidak pernah menerima keuntungan dan uang pokok lagi dari kedua pelaku. “Sejak April 2022, keuntungan dan pokok tidak dikembalikan pelaku. Keduanya hanya janji-janji saja akan mengembalikan keuntungan,” ungkap Martin.
Tak hanya itu, kedua pelaku juga sempat menutupi kecurigaan korban dengan mengaku akan menerima pembayaran dari perusahaan King Koil dengan mengirimkan bukti adanya Invoice dari PT GTI kepada King Koil senilai kurang lebih Rp 100 miliar.
“Namun kenyataannya janji-janji tersebut tidak pernah terealisasi,” jelas Martin. Lantaran hanya mendapatkan janji-janji semata, bahkan kedua pelaku mulai menghindar, kasus tersebut akhirnya dilaporkan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jatim pada 1 Februari 2024. Kemudian terbit Laporan Polisi (LP) LP/B/73/II/2024/SPKT/Polda Jatim.
Menurut Martin, berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata proyek PO yang diberikan kedua tersangka kepada korban dari perusahaan King Koil adalah fiktif. “Jadi bisa dijerat pasal berlapis. Yaitu, penipuan, penggelapan dan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). Dan nilai kerugian klien kami sangat besar, totalnya Rp175 miliar,” ungkapnya.
Martin berharap agar penyidikan kasus tersebut berjalan dengan transparan dan profesional, khususnya terkait dengan TPPU. “Kami juga mengapresiasi bahwa pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka. Namun untuk TPPU nya bisa dikejar, duit larinya kemana. Pasti ada arusnya lari kemana ini?” papar praktisi hukum Peradi ini.
Selain itu, Martin juga berharap keadilan agar kasus tersebut dibongkar keseluruhan. Pasalnya, lanjut dia, korban atas penipuan kasus ini tidak hanya kliennya saja. Melainkan ada banyak korban-korban lain, yang nilainya juga miliaran rupiah.
“Informasi yang kami terima, di Polda Jatim ada 2 pelapor. Sedangkan di Polrestabes ada 6 pelapor dengan kerugian bervariasi Rp 2 miliar, Rp 4 miliar dan Rp 5 miliar. Itu belum korban-korban lain, yang mungkin enggan untuk melaporkan,” tambahnya. (dra)