Surabaya, (pawartajatim.com) – Kader PDI Perjuangan (PDIP) Surabaya menyatakan Kebulatan tekad. Hari masih pagi, sekitar pukul 07.00 WIB. Tetapi kesibukan luar biasa terlihat di depan Kantor DPC PDIP Kota Surabaya Jalan Setail No 8. Tampak, ratusan anggota PDIP melaksanakan upacara dalam rangka HUT PDIP ke-52 tahun dengan tertib dan khidmad
Selanjutnya, setelah upacara selesai para kader partai berlambang banteng moncong putih tersebut menggelar aksi monumental cap jempol darah yang dilakukan di selembar kain putih.
Aksi ini merupakan kebulatan tekad para kader partai moncong putih dengan nomor urut 3 yang dikenal militan untuk mendukung kepemimpinan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dari segala bentuk rongrongan dan gangguan menjelang Kongres PDIP yang rencananya digelar pada April mendatang.
Tentu saja, hal ini mengingatkan orang pada peristiwa bulan Juni 1996. Saat itu, kepemimpinan Megawati selaku Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang sah sesuai hasil Munas 1993, hendak diganti melalui kongres hasil rekayasa di Medan oleh Kelompok Soerjadi, Fatimah Achmad, Buttu Hutapea, dkk dengan didukung oleh pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.

Saat itu, anggota PDI dan didukung berbagai elemen masyarakat melakukan perlawanan dan penggagalan terhadap Kongres Medan tersebut. Pada akhirnya aksi perlawanan berbuntut peristiwa pengambilalihan Kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI di Jl. Diponegoro No 58 Jakarta.
Kemudian kerusuhan menjadi meluas, dan kemudian hari disebut dengan peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli). Pada aksi cap jempol darah kali ini, tampak para pelaku sejarah peristiwa 27 Juli 1996 kembali ‘turun gunung’.
Diantaranya, Armuji yang kini menjabat Wakil Walikota Surabaya, Baktiono Anggota DPRD Surabaya, Taru Sasmita, Wimbo Ernanto, dll. “Kami prihatin terhadap kondisi PDIP yang terindikasi hendak diintervensi seperti tahun 1996. Karena itu kami tegak lurus kepada perintah Ibu Megawati Soekarnoputri,” kata Baktiono, kepada pawartajatim.com, di Surabaya Jum’at (10/1).
Mereka tak hanya melakukan cap jempol darah, tetapi mengecam segala bentuk intervensi yang dilakukan kepada PDIP dan Megawati Soekarnoputri. Secara khusus Armuji, bersama kader PDIP yang lain secara terbuka mengecam Efendi Simbolon, yang merupakan kader partai yang telah dipecat DPP PDIP.
“Heyyy…… Efendi Simbolon, apa kapasitasmu meminta Ibu Megawati mundur dari jabatan Ketua Umum,” teriak Armuji, yang kemudian diamini oleh kader PDIP yang lain. Bahkan, Agus Basuki Sahari, kader senior PDIP dari Kecamatan Mulyorejo juga meneriaki Efendi Simbolon, dengan umpatan khas Arek Suroboyo.
Seperti halnya sikap kader PDIP terhadap Efendi Simbolon, begitu juga pandangan kader PDIP terhadap Jokowi. Bagi mereka, kedua orang tersebut tidak pernah ikut berjuang bersama Megawati Soekarnoputri dan kader PDIP yang lain dalam mempertahankan eksistensi PDIP di saat sulit.

Tetapi kedua orang tersebut justru mendapatkan kedudukan, jabatan dan kemewahan berkat PDIP. Hal ini, tentu saja menimbulkan rasa antipati yang mendalam kepada orang tersebut.
Namun, sebagai partai yang modern dan berpengalaman, kader PDIP sedikitpun tidak terpancing untuk berbuat anarkis. Mereka tegak lurus terhadap perintah Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum yang dikenal sangat menjunjung tinggi proses hukum.
“Pengalaman mengajarkan bahwa Ibu Megawati sangat mengedepankan hukum dalam setiap menyelesaikan persoalan, termasuk saat melawan rezim Orde Baru,” jelas Baktiono. (nanang)