Surabaya, (pawartajatim.com) – ‘Jadi relawan itu pilihan hidup’. itulah yang dikatakan Budi Murtianingsih, seorang relawan bidang pendampingan  kesehatan. Perempuan kelahiran, Surabaya, 21 Agustus 1974 yang akrab disapa Nunung, ini bersama Ferry, berkecimpung dibidang pendampingan sejak 2010.

Pertama mendampingi pasien katarak miskin di RS DR Soetomo, seorang pedagang daging. Dianjurkan untuk memakai SKTM, berhasil gratis tanpa mengeluarkan biaya sama sekali. “Saya merasa senang bisa menolong orang yang dalam kesusahan, terutama orang sakit,” kata Nunung, kepada pawartajatim.com, Sabtu (18/9).

Pada saat maraknya pandemi covid, Nunung, juga mendampingi puluhan pasien terpapar covid di beberapa rumah sakit (RS). Antara lain, DR Soetomo, RKZ, Soewandi, Husada Utama, RS Unair. Yang berkesan dan paling diingat selama masa pendampingan, yaitu saat menangani Eka, pasien berusia 8 tahun dari Papua, dengan penyakit awal tumor otak dan infeksi saluran kencing.

Awalnya dirujuk ke Jember, kemudian ditangani  rawat jalan di RS Dr Soetomo. Kondisi pasien menggigil, setelah 22 hari dirawat, kemudian meninggal dunia. “Pasien di makamkan di makam keluarga bapaknya Pasuruan,” jelas warga Gubeng Jaya SR ini.

Hal yang menyedihkan lagi, saat menangani pasien kanker paru-paru, seorang gadis baru lulus SMA,  putri seorang pedagang es cao, warga Tuban. “Bayangkan, saya hanya punya uang Rp 50.000 untuk berjaga apabila ditolak ditangani,” tambah aktifis Badan Penanggulangan Bencana (Baguna) PDI Perjuangan Surabaya ini.

Oleh Nunung, pasien ini dibawakan 2 nasi bungkus lauk tahu dan telur goreng. Sambal kecap, dan  minumnya teh panas. Nasi bungkus yang mestinya bekalnya itu, dimakan bersama pasien dan keluarganya.

Pasien dan keluarganya terharu. Tapi sayang, dua hari kemudian pasien meninggal dunia. Tak hanya itu, ada lagi pasien dampingan asal Surabaya, seorang anak laki-laki usia enam tahun meninggal dunia, karena jantung bocor.

Pasien tersebut diantar ibunya dirawat di RS Dr Soetomo.  Ditengah keterbatasan uang yang dimiliki, Nunung sempat mengajak makan  pasien dampingan di kantin rumah sakit, dengan menu ayam. Belum lagi pasien gagal ginjal dari Gresik, yang  sempat mengalami kendala karena iuran  BPJS menunggak selama tiga bulan dan oleh Nunung dibantu menguruskan SKTM.

Walaupun akhirnya pasien meninggal dunia, setelah cuci darah. Saat ditanya, apakah ada ketakutan melakukan pendampingan saat covid-19 ? Nunung menjawab dengan tegas dan lugas. “Saya pasrah, yang penting sudah menjalani prokes,” tambah perempuan manis berhijab ini.

Sebagai manusia biasa, Nunung, merasa  sedih bila ada pasien meninggal dunia. Apalagi pasien meninggal karena covid, kemudian keluarganya tetap memaksakan untuk membawa pulang jenazah. Dan sudah ada sekitar 10 kasus seperti itu yang terjadi, selama dia melakukan pendampingan. (nn)