Surabaya, (pawartajatim.com) – Melahirkan gagasan Nusantara diantara kemelut Wangsa Rajasa. Singasari yang merupakan salah satu kerajaan bercorak Hindu dan Buddha di Tanah Jawa, pernah menjadi kerajaan besar dengan luas wilayah yang melebihi wilayah nusantara.
Menurut Negarakertagama, pengaruh Singasari di luar Jawa meliputi Pahang (kini wilayah Malaysia), Tumasik (kini Singapura), Sumatera, Bali, Bakulapura atau Tanjungpura (Kalimantan Barat), hingga Gurun (Maluku) dan sebagian Pulau Seram.
Sukses besar ini tidak lepas dari gagasan Nusantara yang dikembangkan oleh Prabu Kertanegara, Raja Singasari. Ide besar tentang persatuan ini sengaja dilakukan untuk menghadang langkah Negara Mongol atau Bangsa Tartar yang berkuasa di China.
Kaisar Mongol, Kublai Khan sangat bernafsu untuk melakukan perluasan wilayah hingga ke negara-negara di Asia Tenggara, karena itu merasa perlu untuk membangun kekuatan bersama dengan negara Melayu dan negara lain di Pulau Sumatera atau yang saat ini dikenal dengan nama Swarna Dwipa.
Kaisar Mongol tersebut sangat marah kepada Prabu Kertanegara, karena utusannya pernah dilukai wajahnya, dan daun telinganya dipotong. Misi ini disebut sebagai Ekspedisi Pamalayu dan terdapat dalam
Prasasti Padang Roco yang ditemukan pada Tahun 1911 Masehi di hulu Sungai Batanghari, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, dan menjadi alas bagi Arca Amoghapasa. Terdapat 4 baris tulisan di prasasti ini dengan aksara Jawa Kuno dan memakai dua Bahasa.
Yakni, Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Sansekerta. Prasasti ini menguak peristiwa Ekspedisi Pamalayu oleh Kerajaan Singasari ke Sumatera pada abad ke-13 Masehi. Arca Amoghapasa tersebut dimaksudkan sebagai hadiah atau persembahan persahabatan dari Wiswarupakumara, putra Kertanegara kepada Raja Dharmasraya, Srimat Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa.
Selain mengirim rombongan besar ke Sumatera dalam misi Ekspedisi Pamalayu ke Sumatera sejak 1275 M, Raja Kertanegara juga melakukan sejumlah penaklukan di luar Jawa, salah satunya Bali pada 1284 Masehi.
Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahisa Anabrang yang juga merupakan anak Prabu Kertanegara dari istri selir tersebut, pada akhirnya menjadi peristiwa penting yang tidak hanya mengharumkan nama Kerajaan Singasari.
Tetapi juga menjadi titik balik yang menghancurkan, karena kekosongan pasukan ini digunakan oleh Prabu Jayakatwang untuk memberontak dan menghancurkan Kerajaan Singasari. Siapakah Kertanegara? dan siapakah Jayakatwang? apakah masih ada pertalian darah dan memiliki hubungan keluarga ?
Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Provinsi Jawa Timur/Jatim selama ini dikenal sebagai lembaga yang konsentrasi kepada sejarah Kerajaan Singasari dan Majapahit. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mempelajari kedua kerajaan Wangsa Rajasa ini.
“Kertanegara lahir dari sosok ibu bernama Waning Hyun atau Jayawardhani, istri Raja Wisnuwardhana di Singasari. Waning Hyun adalah putri dari Mahisa Wunga Telang yang tidak lain adalah putra Ken Arok, pendiri Singasari, dari Ken Dedes,™ kata Wakil Ketua Bidang Manuskrip dan Prasasti BKN Jatim Nanang Sutrisno, kepada pawartajatim.com di Surabaya Jum’at (17/5).
Kertanegara mempunyai kakak perempuan yang bernama Nararya Turukbali, yang dikawinkan dengan Jayakatwang putra Jayasabha yang juga ipar Ranggwuni, kemudian putra Jayakatwang yang bernama Ardharaja diambil menantu oleh Kertanegara.
“Sesungguhnya kekerabatan antara Kertanegara dan Jayakatwang sangat dekat, mereka adalah sepupu, ipar, dan besan,” jelas Nanang Sutrisno, yang juga kolektor buku, keris, batu bergambar ini. Pada saat Ranggawuni masih berkuasa, dia menempatkan putra dan putrinya sebagai raja di negeri bawahan.
Kertanegara dijadikan raja di Kadiri, Nararya Turukbali ditempatkan di Gelang-gelang, dan memerintah disana bersama Jayakatwang, suaminya sementara anak-anaknya yang lain juga dijadikan penguasa di negara bawahan, seperti Lumajang, Wengker, Lwa, Hering, dan masih banyak lagi.
Tidak lama kemudian, Kertanegara yang merupakan Yuwaraja/ Putra Mahkota diangkat sebagai raja di Kerajaan Singasari menggantikan Ranggawuni. Menurut Pararaton, Kertanegara dituliskan berkuasa sedari tahun 1272 Masehi dan berada di urutan ke-6 sebagai pemimpin Tumapel atau Kerajaan Singasari dengan mengikutsertakan Tunggul Ametung 1185-1222 Masehi, Ken Angrok 1222-1247 Masehi, Anusapati 1247-1249 Masehi, Tohjaya 1249-1250 Masehi, kemudian Ranggwuni 1250-1272 Masehi.
Mengingat jabatannya sebagai penguasa Kerajaan Singasari, Kertanegara memiliki beragam gelar yang melekat pada dirinya. Mulai gelar Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purusottama Wira Asta Basudewadhipa Aniwariwiryanindita Parakrama Murddhaja Namottunggadewa. Gelar Ini terdapat dalam Prasasti Mula Malurung.
Ada juga gelar Sri Maharajadhiraja Kertanegara Wikrama Dharmamottunggadewa yang tercantum dalam Prasasti Padang Roco. Kemudian terdapat pula Sri Jnaneswarabajra pada Prasasti Tumpang.

Pengangkatan Kertanegara sebagai raja Singasari, membuat Jayakatwang tidak suka dan menimbulkan perasaan iri, sebab ia merasa bahwa istrinya, Nararya Turukbali lebih tua. Sehingga lebih berhak atas tahta tersebut. Kemudian Jayakatwang merasa diperlakukan tidak adil karena Kerajaan Kadiri yang merupakan milik leluhurnya tidak pernah diberikan kepadanya.
Perasaan ini menjadi semacam bisul dendam kesumat yang bisa meletus sewaktu-waktu. Secara diam-diam Jayakatwang membangun hubungan dengan Adipati Songenep, Arya Wiraraja, yang juga masih keponakan Ranggawuni, yang berarti juga masih sepupu Kertanegara dan Jayakatwang.
Pada masa pemerintahan Kertanegara, Arya Wiraraja yang merupakan salah satu pejabat terkemuka di Singasari, kemudian digeser menjadi Adipati di Songenep, walaupun jabatannya naik satu tingkat, namun Arya Wiraraja merasa dijauhkan dari istana.
Atas saran Arya Wiraraja, kemudian Jayakatwang melancarkan serbuan pemberontakan ke Istana Singasari Prajurit yang tersedia di Singasari tidak cukup banyak untuk menghadapi serbuan tersebut. Sebagian besar prajurit Singasari masih berada di Sumatera untuk misi Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin Mahisa Anabrang.
Prajurit Gelang-gelang mengepung Singasari dikepung dari dua arah. Satu pasukan segelar sepapan yang dipimpin Patih Kebo Mundarang dan Mantri Segara Winotan membuat ontran-ontran di sepanjang perjalanan hingga desa Mameling.
Untuk menghadapi pasukan perusuh ini, Prabu Kertanegara memerintahkan kedua menantunya yaitu Sangrama Wijaya dan Ardharaja. Namun pada akhirnya Ardharaja membelot ke pihak ayahnya, setelah melihat pasukan Gelang-gelang datang dengan membawa Panji Gula Kelapa yang berwarna merah dan putih.
Sementara Prabu Jayakatwang memimpin pasukan induk yang langsung melakukan penyerbuan ke Istana Singasari, setelah melakukan gerakan memutar atau melingkar. Pasukan pengawal istana melakukan perlawanan semampunya.
Bahkan Prabu Kertanegara disertai para pejabatnya, seperti Patih Raganata, dan Patih Mahisa Anengah turut bertempur langsung, walaupun pada akhirnya mereka semua gugur di halaman istana.
Permaisuri Bajra Dewi juga terbunuh, sementara putri-putrinya berhasil melarikan diri diselamatkan oleh Nambi. “Kertanegara sedang melakukan ritual Tantra, untuk menuju puncak kekuatan dengan pesta minuman keras dan melakukan hubungan seksual sebagai lambang ketelanjangan atau kesucian diri,” pungkas Nanang Sutrisno yang juga Ketua salah satu komunitas sejarah ini.
Walaupun masih sama-sama berdarah Rajasa, namun serangan ke pusat pemerintahan Kerajaan Singasari ini dapat dimaknai dengan tumbangnya Wangsa Rajasa yang dibangun oleh Ken Angrok. Kertanegara didharmakan di Candi Singasari Dukuh Krajan, Kelurahan Candi Renggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang dan Candi Jawi yang berada di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan sebagai perwujudan Buddha, dan juga terdapat patung Buddha dalam posisi Jina yaitu duduk bersila dengan kaki kiri diletakkan pada bagian atas.
Patung yang juga dikenal dengan arca Joko Dolog tersebut sekarang berada di daerah Taman Apsari, Kelurahan Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya. Kisah keberanian dan kepahlawanan Kertanegara, juga menjadi inspirasi latar belakang pembuatan komik cerita sejarah karya SH Mintaredja, sandiwara radio, dan film layar lebar berjudul Tutur Tinular karya S Tidjab.
Sebuah nasehat bijak, kurang lebih berbunyi ‘Lawan yang jelas, lebih baik dari kawan yang tidak jelas, Kawan yang tidak jelas lebih baik dari sahabat yang tidak setia’. Andai saja Kertanegara sejak awal bisa mengetahui siapa saja orang yang tidak setia disekelilingnya.
Seperti Jayakatwang, Arya Wiraraja, dan juga Ardharaja, pasti keruntuhan Singasari bisa dihindari dan ditanggulangi. (nanang)