Surabaya, (pawartajatim.com) – Peristiwa 27 Juli diingat sampai mati. Lembaran sejarah perpolitikan di tanah air pernah tercoreng oleh Insiden berdarah yang terjadi pada Sabtu 27 Juli 1996. Hal itu dipicu oleh perebutan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pro Megawati di Jl. Diponegoro No.58 Jakarta oleh pendukung PDI Soerjadi yang didukung penuh aparat TNI, Polri atas perintah rezim Soeharto.
Jatuhnya kantor tersebut, memicu perlawanan pendukung Megawati dan elemen pendukung demokrasi, serta masyarakat di seluruh penjuru tanah air. Seperti Surabaya, Solo, Semarang, Medan, dan masih banyak lagi.
Perlawanan yang dilakukan oleh pendukung Megawati di Surabaya juga tak kalah seru. Setelah kantor DPD PDI Pro Megawati Provinsi Jawa Timur/Jatim yang berada di Pandegiling No 223 Surabaya dikosongkan oleh aparat militer, maka pendukung Promeg yang berkumpul di sekitar jalan tersebut dihalau hingga mendekati Masjid Alfalah dan Kebun Binatang Surabaya di Kawasan Wonokromo.
Mereka diperlakukan secara represif oleh aparat militer Batalyon 507 dan 516 dari TNI Angkatan Darat, tidak hanya dikejar-kejar tetapi juga dipukuli secara brutal hingga banyak yang terluka parah.

Diantaranya Pembantu Komisaris PDI Kecamatan Sawahan, Yanto, juga wartawan Surya yang sedang melaksanakan tugas liputan, Adi Sutarwijono, terluka tusukan bayonet di pahanya.
Kelak laki-laki jangkung ini aktif di PDI Perjuangan dan menjadi Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya hingga sekarang. “Pak Yanto dipukuli kepalanya dengan popor senjata M16, hingga pendengarannya terganggu seumur hidup,” kata aktifis Promeg 96 Surabaya, Nanang Sutrisno, kepada pawartajatim.com, Kamis (27/7/2023).
Untuk mengenang peristiwa Sabtu kelabu tersebut, DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya menggelar acara refleksi 27 Juli dengan mengundang para pelaku sejarah yang terlibat langsung dalam kejadian, diantaranya Nanang Sutrisno, Micky Hariyanto, Ronny Januar Aritonang, Sahat Meinaro Aritonang, Madollah, Suyitno, Solikhin, Achmad DJ Salam, Kastowo, Pituk Kastono, Hariyati Masriyanto, dan lain-lain.
Mereka sengaja diundang DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya untuk diberi piagam penghargaan, sebagai apresiasi atas kesetiaan mengabdi kepada partai lebih dari 25 tahun dan membela kehormatan partai saat dalam keadaan sulit pada saat peristiwa kudatuli.
“Ini sebagai pengingat bagi kami, bahwa Partai PDI Perjuangan tidak lahir dari selembar akta Notaris, tetapi dari percampuran keringat, air mata dan darah,” jelas Nanang Sutrisno yang juga mantan Komisaris PDI Promeg Kecamatan Genteng.
Pada kesempatan tersebut, Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya, Baktiono, yang juga pelaku sejarah peristiwa 27 Juli 1996 di Surabaya, memaparkan perjalanan panjang PDI Perjalanan di masa sulit.
Di akhir refleksinya dia meminta seluruh kader partai agar selalu meyakini sesanti Satyam Eva Jayate yang artinya pada akhirnya kebenaran yang akan menang. Peringatan 27 Juli 1996 diakhiri dengan doa bersama dari para pemuka agama di Indonesia.
Mereka mendoakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan juga mendoakan PDI Perjuangan selaku penjaga Pancasila dan kebinekaan agar selalu bisa menang pemilu sehingga bisa menjamin keutuhan NKRI dan Pancasila. (bw)











