Inkubator Batik, Inovasi SMK di Banyuwangi Atasi Pengangguran

Kepala SMKN 2 Tegalsari, Dr. Umar Said menunjukkan produki batik hasil kreasi siswa, belum lama ini/Budi Wiriyanto
Kepala SMKN 2 Tegalsari, Dr. Umar Said menunjukkan produki batik hasil kreasi siswa, belum lama ini/Budi Wiriyanto

Banyuwangi (pawartajatim.com) – Ekonomi sulit. Banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi fenomena di masa pandemi. Kondisi ini berdampak pada psikologis siswa yang akan lulus. Khususnya, siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Banyuwangi. Syukur, kekhawatiran itu menemukan jawaban. Muncul inovasi membuka lowongan usaha melalui program inkubator batik. Seperti digagas SMK Negeri 2 Mabadi’ul Ihsan, Kecamatan Tegalsari, Banyuwangi.

Sekolah di Selatan Kota Gandrung ini memberikan edukasi menjadi wirausahawan batik bagi siswa. Tentunya, tetap dengan disiplin protokol kesehatan (prokes). Inkubator interprenuer batik ini sengaja dipilih. Alasannya, batik Banyuwangi mulai “booming”. Seiring geliat pariwisata di kabupaten ujung timur  Jawa ini.

Sehingga potensi ekonominya menggiurkan. Kebetulan, di sekolah ini, satu-satunya SMK yang memiliki jurusan tekstil dan batik. “Idenya sederhana, kami memiliki jurusan batik. Jangan sampai lulusannya menganggur. Akhirnya, kami cetuskan membuka interpeneur batik,” kata Dr. Umar Said, Kepala SMKN 2 Mabadi’ul Ihsan Tegalsari kepada pawartajatim.com, Kamis (19/5).

Model interpreneur ini memanfaatkan potensi yang ada di sekolah. Ketika masih bersekolah, para siswa diajak memproduksi batik. Produknya ditawarkan ke sejumlah instansi. Bahkan, ada yang tembus ke luar pulau Jawa.

“Kami bekerjasama dengan komunitas Ikatan Keluarga Banyuwangi (Ikawangi) yang tersebar di beberapa kota. Mereka cukup potensial menjadi pelanggan,” kata Umar. Kelompok interpreneur muda ini dijuluki unit produksi batik. Ketika jam sekolah selesai, para siswa yang tergabung dalam unit ini bekerja memproduksi batik. Keuntungannya ganda.

Selain mendapatkan tambahan uang saku, para siswa memiliki keterampilan tambahan membuat batik. Selama produksi, disiplin prokes tetap dijalankan. Siswa wajib bermasker. Lalu, menjaga jarak ketika membatik.

Dari unit produksi ini, SMKN 2 Mabadiul Ihsan berhasil mencetak para pembatik handal. Bahkan, menjuarai kompetensi membatik pelajar tingkat nasional. Prestasi ini diraih berkat ketekunan para siswa yang tergabung dalam unit produksi batik.

Selain batik, unit produksi membuat produk turunan. Seperti udeng khas Banyuwangi dan aneka model baju. “Udeng batik ini yang sedang tren. Pemasanan banyak dari luar daerah,” jelasnya.

Dari inkubator interpreneur ini, pihaknya mengajari para siswa menjadi wirausahawan sejak dini. Sejak masih sekolah. Sehingga, ketika lulus, mereka bisa membuka usaha sendiri. Meski baru, inovasi ini sudah membuahkan hasil. Beberapa orang lulusan sudah membuka gerai batik.

Lalu, lima orang almnus justru bertahan di sekolah menekuni unit produksi batik. Omset yang didapat lumayan besar. Sempat tembus hingga Rp 27 juta. Konsep inkubator interpreneur ini menjadi salah satu unggulan di sekolah ini.

Sehingga, setelah lulus, para siswa tidak akan bingung mencari pekerjaan. Namun, bisa langsung membuka usaha. Bekerjasama dengan sekolah. Inovasi ini menjadi jawaban ketika lulusan SMK banyak yang menganggur.

Data statitik tahun 2019, pengangguran terbuka nasional justru disumbang dari SMK. Jumlahnya mencapai 13,55 persen. Angka ini naik dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 10,36 persen dan tahun 2018 tembus 11,18 persen.

“Ini kan miris, SMK sebagai pencetak siswa kejuruan justru menyumbangkan pengangguran. Karena itu, kami berinovasi membuat inkubator interpreneur sejak dini,” jelasnya.

Interpreneur ini mengajari siswa menjadi wirausaha mandiri. Bukan pencari kerja setelah lulus. Tenaganya pendidiknya juga handal. Para guru sudah tersertifikasi profesi batik. Sehingga kualitasnya tak diragukan.

“Dari inkubator ini, kami sudah membuka 5 gerai batik yang dikelola para alumni. Produknya batik tulis dan cap,” imbuh Umar. Hebatnya lagi, para alumnus yang sukses menjadi wirausaha mampu memberdayakan masyarakat sekitar.

Dia mencontohkan usaha batik milik alumnus di Desa Karangdoro, Kecamatan Tegalsari. Di tempat ini, warga yang menganggur dilibatkan dalam membuat karya batik. Hasil produknya, bisa dipasarkans sendiri bekerjasama dengan pihak sekolah.

Di masa pandemi, ketika ekonomi sedang lesu, inkubator interpreneur menjadi solusi. Khususnya siswa SMK yang segera lulus ketika pandemi. “Dengan inkubator interpreneur ini, tentunya akan berdampak pada minat siswa masuk SMK. Sebab, ada jaminan ekonomi ketika mereka lulus. Tidak hanya mengandalkan lapangan kerja,” jelas Umar.

Selain inkubator batik, SMKN 2 Tegalsari sukses mengantarkan lulusannya masuk ke dunia kerja. Kelulusan tahun 2022, sebanyak 197 siswa yang lulus, seluruhnya terserap dunia kerja.

Rinciannya, 41 siswa langsung kerja, 40 siswa masuk ke incubator bisnis batik, 15 siswa masuk perguruan tinggi negeri jalur undangan karena prestasi, 14 siswa masuk Universitas Terbuka dengan beasiswa pesantren, 27 siswa mengikuti seleksi pergurun tinggi, sisanya 60 sisa masuk industri melalui jalur Balai Latihan Kerja (BLK).

“Sesuai komitmen kami, jangan sampai SMK menambah pengangguran, justru harus mengurangi pengangguran,” jelasnya. (wir)