Surabaya, (pawartajatim.com) – Perjalanan hidup permaisuri tak putus dirudung malang. Tumapel adalah nama sebuah pakuwon (Setingkat Kecamatan) dibawah pimpinan Akuwu Tunggul Ametung yang merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah kekuasaan Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Raja Kertajaya yang berkuasa pada 1194-1222 M.
Akuwu Tunggul Ametung (yang berarti Tongkat Pemukul) masih termasuk keluarga dekat dari prabu Kertajaya yang memiliki nama lain Dandang Gendis, sebagai Akuwu dia sering melakukan blusukan untuk memantau wilayah kekuasaannya.
Menurut Prasasti Warundungan yang bertahan 865 Saja, saat mengunjungi wilayah desa Panawijen, dia melihat seorang gadis cantik putri seorang Brahmana Budha Mahayana yang bernama Mpu Purwa.
Perempuan itu bernama Niken Dedes atau dikenal dengan Ken Dedes, wajahnya tidak hanya cantik rupawan, kulitnya pun bersih menawan, karena tiap hari merawatnya dengan lulur, sebagaimana kebiasaan putri brahmana waktu itu.
Nafsu Tunggul Ametung sudah memuncak di ubun ubun, dia segera memaksa Ken Dedes untuk mau diajak untuk diajak ke Keraton Tumapel untuk diperistri olehnya. Namun Ken Dedes menolak, bahkan perempuan itu meminta agar sabar menunggu dan meminta ijin lebih dahulu pada Mpu Purwa ayahnya yang sedang bertapa.
Ken Dedes marah karena Tunggul Ametung telah bersikap kasar, bahkan merudapaksa, kemudian melarikan dirinya keatas kuda dan membawanya ke Tumapel. “Harga diri Ken Dedes sebagai seorang brahmani hancur, sebagaimana bunga bunga yang dibawanya untuk sembahyang tercampak di tanah,” kata Wakil Ketua Bidang Manuskrip Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Jawa Timur/Jatim, Nanang Sutrisno, di Surabaya Senin (15/4).
Mpu Purwa marah besar ketika tahu bahwa anaknya diculik oleh pembesar Tumapel yang kebetulan penganut agama lain, hingga akhirnya mengeluarkan supata atau kutukan berdarah. Sementara Ken Dedes di Tumapel hanya bisa menangis dan meratapi nasibnya yang harus menjadi seorang istri dengan cara yang jauh dari kelayakan dan kepatutan.
Baginya dia sama sekali tidak bahagia menjadi istri seorang penguasa, bahkan perempuan itu terus menerus berdoa agar Dewata mengirim seseorang yang dapat membayar lunas sakit hatinya itu. Akhirnya muncul sosok Ken Angrok (berarti Pendobrak) yang merupakan seorang pimpinan pasukan pengawal Akuwu dan keluarganya, karena sering bertemu, akhirnya tumbuh perasaan saling mencintai diantara mereka.
Hingga tibalah saat yang merubah sejarah, dimana di Taman Boboji, Ken Angrok melihat kain Ken Dedes tersingkap oleh angin besar dan terlihat bagian betis hingga ke atas, terlihat ada seberkas cahaya yang muncul.
Dari penuturan gurunya Brahmana Lohgawe, Ken Arok akhirnya tahu bahwa Ken Dedes adalah sosok perempuan Ardhaneswari yang menurunkan raja raja besar. Sebagai seorang bekas penjudi, pencuri, perampok yang berpengalaman, langsung terbersit keinginan untuk memiliki perempuan cantik istri junjungan nya tersebut
Berbekal Keris Gandring, dan memanfaatkan Kbo Ijo, Ken Angrok menghabisi Akuwu Tunggul Ametung yang sedang tidur disamping Ken Dedes di kamar tidur mereka. Ken Dedes yang melihat kejadian tersebut langsung menangis histeris, namun setelah dia mengetahui pelakunya adalah Ken Angrok kekasihnya.
Apalagi dia teringat perlakuan Tunggul Ametung saat menculiknya dulu, akhirnya tangis itu berubah menjadi senyum kebahagiaan. “Ken Angrok mengawini Ken Dedes saat perempuan itu sedang hamil tujuh bulan,” jelas Nanang Sutrisno, yang merupakan penggiat sejarah ini.
Setelah melahirkan Anusapati yang merupakan putra Tunggul Ametung, Ken Dedes melahirkan beberapa anak untuk Ken Angrok yaitu Dewi Rimbu Mahisa Wunga Telang, dan Guhning Baya. Pada tahun 1222 Masehi, melalui pertempuran di Desa Ganter di sekitar Wlingi, daerah Blitar sekarang, Pasukan Tumapel yang dipimpin Ken Angrok berhasil mengalahkan prajurit Kediri dan rajanya, kemudian menjadikan Kediri menjadi bawahan Tumapel.
Pada awalnya kehidupan Ken Arok dan Ken Dedes harmonis dan bahagia, namun semuanya menjadi berubah, saat Ken Angrok membawa seorang perempuan bernama Ken Umang, yang ternyata adalah istri yang dikawini oleh Ken Angrok jauh sebelum mengenalnya.
Perasaan cinta lambat-laun menjadi benci, dan dendam. Dimata Ken Dedes, kelakuan Ken Angrok jauh lebih buruk dari Tunggul Ametung, pengorbanan yang dia lakukan hingga Ken Angrok menjadi raja seperti sekarang ini seakan akan tidak dihargai sama sekali.
Berdasarkan Prasasti Mula Malurung tahun 1255 Masehi pernikahan Ken Angrok dan Ken Umang dianugerahi empat orang anak, yakni Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rambi.
Ketidaksukaan Ken Angrok kepada Anusapati yang merupakan anak Tunggul Ametung, ditunjukkan saat mengangkat putranya, Mahisa Wungatelang yang bergelar Batara Parameswara sebagai raja di Daha, disusul adiknya Ghuningbaya, yang kemudian dilanjutkan oleh Panji Tohjaya yang merupakan putra Ken Umang.
Sebagai seorang ibu, perasaan Ken Dedes menjadi hancur saat Anusapati putranya menangis di pangkuannya. Dia mengeluh sebagai anak sulung dia merasa diperlakukan tidak adil, tahta Daha yang seharusnya pantas menjadi miliknya justru diberikan kepada adik adiknya
Akhirnya Ken Dedes menjadi terpancing, dia menceritakan tentang keadaan sebenarnya, bahwa Anusapati bukan putra Ken Angrok, melainkan putra Tunggul Ametung. Dan Ken Angrok lah yang membunuh Tunggul Ametung.
Pikiran Ken Dedes yang sudah diliputi perasaan cemburu dan dendam, mendorong perempuan itu untuk menyerahkan keris Gandring yang pernah dipergunakan untuk menghabisi riwayat Tunggul Ametung, seakan akan dia menyuruh anaknya untuk membunuh Ken Angrok.
Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa, begitu prinsip Anusapati. Menurut Pararaton, pada kamis pon waktu landep, senja atau sore hari 1169 Saka bertepatan 1247 Masehi, dengan menggunakan tangan seorang pengalaman, Anusapati menghabisi nyawa Sang Rangga Rajasa Batara Awarmubhumi, dan kemudian dinyatakan meninggal saat sedang menyantap hidangan di meja makan.
Kematian suaminya itu, membuat perasaan Ken Dedes menjadi campur aduk antara perasaan sedih dan gembira. Dia tidak membayangkan jika kedua suaminya tersebut harus berpulang dengan cara yang tragis.
Anusapati akhirnya menjadi raja menggantikan Ken Angrok, namun rupanya dendam kesumat diantara keluarga Wangsa Rajasa itu tidak berhenti. Di sebuah arena sabung ayam, Panji Tohjaya menuntaskan hutang nyawa tersebut, dan Anusapati meninggal dihabisi oleh Panji Tohjaya dan pendukungnya. Peristiwa pembunuhan itu terjadi pada tahun 1171 Saka atau 1249 Masehi
Ken Dedes hanya bisa terdiam saat menyaksikan suami dan anak-anak suaminya saling bunuh berebut tahta kerajaan. Sebagai seorang brahmani yang linuwih dan memiliki kemampuan untuk menerawang masa lalu, masa sekarang, dan masa depan, perempuan itu hanya bisa pasrah menjalani takdirnya.
Karena dia bisa merasakan peristiwa bunuh membunuh anggota keluarganya ini belum selesai, keris Gandring itupun masih ingin menghirup darah keluarganya. “Terlihat jelas dibenak Ken Dedes, bahwa tidak lama lagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka cucunya akan membalas kematian Anusapati dan menghabisi Tohjaya,” tambah Nanang yang juga kolektor buku sejarah ini.
Kesedihan demi kesedihan yang dirasakan oleh leluhur raja-raja tanah Jawa ini, akhirnya memaksanya untuk segera meninggalkan alam madyapada atau alam tengah menuju nirwana yang merupakan alam keabadian melalui jalan moksa.
Sejarah tidak pernah mencatat secara jelas bagaimana akhir riwayat permaisuri yang selalu dirudung malang ini, ada yang mengatakan bahwa Ken Dedes akhirnya masuk ke sebuah sumur dan menghilang disana.
“Orang hanya bisa menggambarkan sosok Ardhaneswari ini melalui sebuah patung indah yang ditemukan di sekitar candi Singasari,” pungkas alumni Unair ini. Patung tersebut pernah dibawa ke Belanda pada tahun 1819, dan dipajang di salah satu museum di Kota Leiden.
Namun, karena desakan pemerintah Indonesia, pada tahun 1978 dikembalikan ke Indonesia. (nanang)