Oleh : Ponang Adji Handoko/Cak Bonang (Aktivis Srawungan Arek Kampung Suroboyo/AKAS)
Hedonisme telah lama menjadi pantangan tidak tertulis dalam dunia keuangan berisiko tinggi, khususnya hedge fund. Ia merusak, bukan karena sekadar memamerkan kekayaan. Tetapi karena menggerogoti disiplin, kepekaan risiko dan struktur kontrol yang menjadi nyawa industri finansial.
Kasus Ng Yu Zhi di Singapura menjadi contoh paling telanjang tentang bagaimana gaya hidup mewah dapat membongkar skema yang secara teknis sangat rapi dan sulit terdeteksi. Ng Yu Zhi membangun sebuah rekayasa finansial berskala institusional melalui struktur hedge fund hasil Exempt Offering Regime, Special Purpose Vehicle (EGT), kontrak futures palsu dengan nama-nama besar seperti BNP Paribas, serta platform trading dengan data yang sepenuhnya fiktif.
Bahkan, institusi yang dihuni lulusan Harvard dan Wharton pun terjebak. Bukan karena mereka kurang cerdas, tetapi karena skemanya dibangun dengan kecanggihan financial engineering yang jauh melampaui kemampuan deteksi standar.
Namun, keruntuhan skema tersebut tidak terjadi karena kecanggihan regulator, melainkan karena hedonisme. Pengeluaran fantastis, koleksi mobil super mewah, pembelian properti di berbagai negara, hingga tagihan kartu kredit yang absurd membuat profil Ng terlalu mencolok.
Hedonisme membuka lampu sorot terhadap dirinya dan membuat struktur yang semula tampak elegan menjadi sebuah atraksi murahan. Hedonisme menjurus pada pengikisan disiplin yang menjadi fondasi kerja hedge fund.
Ia menumpulkan kemampuan membaca risiko, mengaburkan sensitivitas terhadap perubahan pasar, dan mendorong pengambilan keputusan berdasarkan dopamine, bukan kalkulasi probabilitas. Dalam hedge fund, profit bukan hadiah; profit adalah hasil dari pengelolaan risiko, manajemen leverage, dan penguasaan dinamika pasar.
Ketika fokus bergeser dari risiko ke gaya hidup, radar profesional seorang fund manager mengalami kerusakan permanen. Lebih berbahaya lagi, hedonisme menumbuhkan moral hazard. Ketika beban kerugian dianggap dapat dialihkan kepada investor baru, ketika disiplin cash flow ditukar dengan konsumsi berlebihan, ketika integritas laporan internal mulai dipermainkan, maka leverage berubah menjadi ancaman laten.
Banyak hedge fund bukan tumbang karena strategi yang buruk, tetapi karena cashflow mismatch, margin call yang tak tertutupi. Laporan yang dimanipulasi dan ekspektasi bonus yang harus dipertahankan melalui risiko berlebihan. Hedonisme mempercepat semua faktor destruktif tersebut.
Dalam dunia hedge fund, kekayaan yang tenang adalah kekuatan. Sedangkan kekayaan yang berisik adalah kelemahan. Para pemain besar yang bertahan puluhan tahun selalu memilih profil rendah karena mereka memahami satu prinsip mendasar: regulator, pesaing, media, dan investor adalah empat mata pengawas yang terus mencari celah. Hedonisme mengundang semuanya sekaligus.
Pada level filosofis, hedge fund yang bertahan hidup adalah asket dalam dunia finansial. Fokus, keheningan, disiplin, dan ketenangan menghadapi volatilitas jauh lebih berharga daripada pesta, eksposur sosial, atau simbol status.
Hedonisme adalah racun yang menghapus seluruh kemampuan itu. Fenomena serupa muncul dalam lanskap politik Indonesia. Hedonisme politik bekerja bukan dalam bentuk konsumsi pribadi, melainkan dalam keputusan publik yang melayani kesenangan kekuasaan alih-alih kepentingan jangka panjang negara.
Hilirisasi yang dipaksakan tanpa kesiapan lingkungan, percepatan izin sawit dan tambang di daerah rawan bencana. Proyek-proyek megastruktur tanpa dasar ekologis, serta penggunaan APBN sebagai instrumen pencitraan menunjukkan bagaimana gaya hidup kekuasaan telah mengalahkan etika dan logika keberlanjutan.
Kerusakan ekologis yang terjadi di berbagai wilayah bukan sekadar bencana alam, tetapi konsekuensi akumulatif dari ekstraksi berlebihan. Setiap banjir bandang, longsor, kekeringan, atau kerusakan DAS berubah menjadi beban fiskal yang harus ditanggung negara.
Keuntungan privatisasi dinikmati oleh segelintir elite. Sementara kerugiannya disosialisasikan kepada publik. Dalam akuntansi negara, ini adalah bentuk paling kasar dari moral hazard politik. Kebijakan yang lahir dari hedonisme kekuasaan sama sekali tidak pernah memikirkan generasi mendatang.
Ia hanya berorientasi pada apa yang menguntungkan hari ini, siapa yang harus dilayani secara politis, dan bagaimana mempertahankan citra di hadapan publik. Narasi aman seperti “bencana daerah” terus digunakan untuk menghindari audit izin, menyelamatkan oligarki sektor ekstraktif, dan menutup tanggung jawab struktural pemerintah.
Negara memilih kenyamanan politik dibanding kebenaran ekologis. Indonesia akhirnya berjalan menuju masa depan di atas tanah yang rapuh. Ekonomi bertumpu pada ekstraksi, bukan produktivitas.
Politik hidup dari rente, bukan visi. Lingkungan rusak tanpa kendali, sementara beban fiskal terus meningkat. Negara ini menghadapi pertanyaan mendasar: untuk siapa ia bekerja? Selama hedonisme politik tetap menjadi mesin keputusan, selama SDA dijadikan aset konsumsi kekuasaan dan selama kerusakan ekologis ditutupi retorika, maka bangsa ini hanya akan mewariskan krisis yang terus menerus dan makin besar kepada generasi berikutnya.
Alam tidak bisa disogok oleh pencitraan. Ia menghitung secara akurat seluruh kesalahan manusia. Dan ketika tagihan ekologis itu jatuh tempo, tidak ada pesta politik yang cukup megah untuk menyembunyikan kegagalannya.
Di balik narasi besar pembangunan dan hilirisasi SDA, Indonesia menghadapi paradoks yang semakin sulit disembunyikan: kerusakan ekologis yang terus meluas dan hutang publik kian membengkak sementara elite politik hidup dalam kenyamanan yang dibangun oleh eksploitasi jangka pendek.
Fenomena ini memiliki satu akar yang sama, yaitu hedonisme politik. Gaya berkuasa yang memprioritaskan kesenangan, popularitas, elektabilitas, dan patronase, jauh melampaui pertimbangan ilmiah dan keberlanjutan.
Hedonisme politik bekerja dalam diam. Ia tidak hadir dalam bentuk pesta pora, dansa dansi atau guyuran sampanye; ia hadir dalam percepatan izin sawit dan tambang di kawasan rawan bencana, proyek mercusuar telah mengabaikan daya dukung lingkungan, eksploitasi mineral untuk mengejar pertumbuhan statistik, dan kebijakan transaksional yang mengubah jati diri hutan menjadi rente politik.
Prinsip yang digunakan sederhana, ambil untung sekarang, tanggung jawab nanti. Tapi “nanti” itu selalu datang, dan yang membayar bukan mereka yang menikmati pesta, melainkan publik yang kehilangan lingkungan sosial, rumah, sungai, mata pencaharian, juga masa depan.
Kerusakan ekologis bukan hanya tragedi lingkungan; ia adalah liabilitas fiskal jangka panjang: rehabilitasi DAS, infrastruktur anti-banjir, penanganan longsor dan darurat pangan, biaya kesehatan akibat polusi, kompensasi sosial, penurunan produktivitas wilayah terdampak.
Ini semua dibayar oleh APBN, bukan oleh perusahaan oligarki atau pejabat serakah yang mengeruk alam. Dengan kata lain keuntungan diprivatisasi, kerugiannya disosialisasikan. Dalam bahasa akuntansi publik, inilah bentuk paling telanjang dari moral hazard politik.
Ketika politik mengadopsi mentalitas hedonisme, SDA bukan lagi modal pembangunan; ia berubah menjadi alat pembiayaan gaya hidup kekuasaan. Konsesi jadi alat barter politik, hilirisasi dijadikan tameng untuk rente baru, APBN dijadikan sumber subsidi untuk kebijakan populis, dan setiap proyek strategis tiba-tiba menjadi alat pencitraan.
Hasilnya, negara kehilangan arah industrialisasi, namun kaya akan kompleksitas rente. Banjir di Sumatera, longsor di Kalimantan, gagal panen di Jawa, kekeringan di NTT – semua ini bukan sekadar “musim ekstrem”.
Ini adalah pembalikan ekologis dari puluhan tahun ekstraksi tanpa kendali. Namun negara memilih narasi aman, “bencana daerah”, bukan nasional. Mengapa? Karena status bencana nasional berarti negara segera melakukan audit izin sawit, tambang, HTI, food estate, pertanggung jawaban politik, keterlibatan pusat dalam pendanaan dan tekanan pada oligarki yang menjadi sponsor kekuasaan.
Dengan kata lain, status bencana nasional adalah cermin buruk yang tidak ingin dilihat oleh pemerintah. Di negara yang sehat, kebijakan lahir dari visi. Di negara yang tersandera hedonisme, kebijakan lahir dari transaksi.
Hasilnya, ekonomi jalan di atas ekstraksi, bukan produktivitas, politik hidup dari rente, bukan kebijakan, lingkungan meluruh setiap hari, dan masa depan bangsa dijadikan collateral. Kini, Indonesia seperti menuju masa depan sambil menginjak tanah yang retak-retak oleh kerakusan mereka yang merasa tidak akan pernah menanggung akibatnya.
Sebagai bangsa besar kita menghadapi satu pertanyaan mendasar, untuk siapa negara ini bekerja? Hingga hari ini, jawabannya masih kabur. Selama hedonisme politik dibiarkan bertumbuh, selama SDA dimonetisasi untuk gaya hidup kekuasaan, dan selama kerusakan ekologis ditutup dengan retorika, maka bencana kita akan terus menumpuk – menjadi hutang raksasa yang diwariskan kepada generasi yang bahkan belum lahir.
Negara boleh sibuk mencitrakan kemajuan, tetapi alam memiliki caranya sendiri untuk menghitung kebenaran. Dan ketika itu tiba, tidak ada pesta politik yang cukup mewah untuk menyembunyikan tagihan ekologis yang jatuh tempo. (*)










