Surabaya, (pawartajatim.com) – Besitua PT Freeport Indonesia saat ini menjadi rebutan antara lembaga masyarakat adat Kapauku Kapawe yang terdiri dari tujuh suku dengan lembaga masyarakat adat Lemasko yang mewakili kepentingan suku Kamoro.
Perebutan itu sudah berlangsung beberapa tahun dan sudah sampai ke tingkat pengadilan di Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat. Perebutan itu berawal dari niat PT Freeport Indonesia untuk menghibahkan atau memindah-tangankan besitua ke luar lingkungan PT Freeport.
Namun, untuk merealisasikan niat itu, dibutuhkan prosedur yang jelas dengan meminta izin kepada Gubernur Papua untuk dibuatkan berita acara dalam bentuk sebuah keputusan untuk penghapusan aset dan penghibahan besitua itu dari daftar kekayaan Freport Indonesia.
Kemudian Gubernur Papua mengeluarkan surat keputusan nomor 126 tahun 2004 tentang persetujuan penghapusan aset kekayaaan Freeport Indonesia tersebut. Dalam keputusan gubernur itu disebutkan bahwa penghibahan besitua itu diberikan kepada Pemda Mimika.
Kemudian Pemda Mimika, secara khusus dan terbatas telah memilih dan menunjuk 7 suku yang tergabung dalam suatu perkumpulan adat masyarakat Kapauku Kapawe dan tidak kepada suku-suku lain termasuk lembaga Lemasko yang mewakili suku Kamaro.
Ke-7 suku inilah yang berhak menerima, memiliki dan menjual besitua tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan suku-suku tersebut. Dasar penunjukkan dan pemilihan ke-7 suku tersebut karena di wilayah suku inilah yang paling parah terkena dampak langsung pekerjaan pertambangan Freeport Indonesia.
Karena wilayah pekerjaan tambang Freeport tersebut terdapat di tanah hak ulayat dan tempat tinggal ke-7 suku tersebut. Dan disitulah mereka mengais rezeki dengan bertani dan berburu. Ke-7 suku yang tergabung dalam perkumpulan adat Kapauku Kapawe terdiri dari: suku Mee, suku Moni, suku Ekari, suku Damal, Suku Nduga, Suku Dani dan Suku Kapawe.
Yohanes Djakar SH, dari Lembaga Bantuan Hukum dan Konsultan Hukum Yohanes Djakar SH & Associates Surabaya selaku kuasa hukum dari lembaga adat Kapauku Kapawe yang disampaikan melalui Luther Sampe Toding, sebagai Ketua Dewan Pengawas Lembagas Kapauku Kapawe, ditemui di rumahnya, Kamis (7/10) mengatakan, berita acara dalam bentuk keputusan gubernur Papua itu merupakan dasar hukum untuk penghibahan besitua tersebut.
Dan hal ini sudah sesuai dengan surat keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang penghapusan aset dari PT Freeport Indonesia. Pria alumnus Fakultas Hukum Atmajaya, Jogyakarta itu, mengatakan, salah satu syarat dalam penghibahan itu adalah barang yang dihibahkan itu harus dipindah –tangankan ke pihak ketiga.
Yohanes Djakar yang asli Manggarai, Flores itu, mengatakan, besitua tersebut adalah besi scrap yang terdiri berbagai jenis dan jumlahnya relatif sangat banyak jutaan ton dan akan terus bertambah mengingat kegiatan pertambangan Freeport masih akan terus berlangsung.
Muncul Masalah
Yohanes Djakar, mengatakan di tengah proses penghibahan itu berlangsung tiba-tiba muncul sebuah masalah besar. Pasalnya, ada pihak lain yakni, lembaga adat yang bernama Lemasko yang mengaku-ngaku mewakili kepentingan suku Kamoro dan mengklaim bahwa besitua itu adalah miliknya.
Hal itu didasarkannya pada gugatan perkara di Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat Nomor 31/pdt.G/2017/PN.Cbi yo No.17/Pen.Pdt/Eks/2018/PN.Cbi. Dalam putusan pengadilan tersebut pada intinya menyebutkan bahwa kembaga Lemasko adalah lembaga yang mengurus dan mewakili hak-hak kepentingan suku Kamoro.
Lembaga Lemasko adalah lembaga yang memberi perlindungan dan membela kepentingan dan hak-hak suku Kamoro. Dalam putusan itu disebutkan juga majelis hakim mempertimbangkan bukti yang diberi tanda P-20, sementara bukti itu tidak ada dalam daftar bukti dalam perkara nomor 31 tersebut.
Dengan demikian, tambah, Yohanes Djakar, putusan pengadilan tersebut adalah cacat hukum dan tidak punya kekuatan yang berlaku sah menurut hukum. Dalam putusan itu dijelaskan juga bahwa lembaga Lemasko tidak ada kaitan atau hubungannya dengan lembaga Kapauku Kapawe yang telah mendapat surat keputusan dari Gubernur Papua nomor 126 tahun 2004.
Dan surat keputusan gubernur itulah yang menjadi dasar hukum kepemilikan besitua tersebut. Dan lembaga Lemasko tidak memiliki dasar kepemilikan besitua tersebut seperti yang dimiliki lembaga Kapauku Kapawe. Karena itu, pengakuan Lembaga Lemasko sebagai pemilik besitua tidak punya dasar hukum sama sekali.
Jadi, dasar hukum penyerahan besitua itu adalah prosedur penyerahan dari Freeport ke gubernur Papua dan kemudian gubernur mengeluarkan keputusan untuk diserahkan ke Pemda Mimika.
Dan lembaga apa pun atau siapa pun yang mengaku milik besi tua tersebut, namun, tidak mempunyai dasar hukum yang sah, adalah cacat hukum. Lebih jauh, pengacara yang sudah berpengalaman itu, atas nama Lembaga Kapauku Kapawe saat ini sedang menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Langkah pertama yang dilakukan dengan mengirim surat pemberitahuan tertanggal 29 September kepada seluruh instansi terkait seperti ke semua Polda yang ada di Indonesia, perusahaan yang menyembunyikan besitua tersebut, Kejaksaan dan Pengadilan di seluruh Indonesia dan instansi terkait lainnya.
Yohanes Djakar, juga mengaku akan melakukan gugatan perlawanan/bantahan terhadap putusan Pengadilan Negeri Cibinong no. 31/Pdt.G/2017/PN.Cbi yo No.17/Pen.Pdt/Eks/2018/PN.Cbi. Dalam surat gugatannya, Yohanes Djakar, menolak tegas terhadap putusan pengadilan tersebut dan minta untuk membatalkan keputusan PN Cibinong nomor 31 itu.
“Gugatan ini diarahkan kepada semua pihak yang terkait dalam perkara No 31/pdt.G/2017/PN Cibinong tersebut,’’ katanya. Perlawanan ini, tambah Yohanes Djakar, antara lain dengan alasan bahwa proses dasar kepemilikan Lemasko adalah tidak mengikuti prosedur sebagaimana proses kepemilikan yg berawal dari Freeport mengirim surat izin kepada Gubernur Papua dan Gubernur mengeluarkan berita acara berupa sebuah surat kepputusan dan dikirimkan ke Pemda Mimika.
Dan kemudian Pemda Mimika menunjuk dan menyerahkan besitua tersebut kepada lembaga masyarakat adat Kapauku Kapawe yang terdiri dari 7 suku. Selain itu, Lembaga Lemasko tidak berada dalam batas lembaga adat Kapauku Kapawe karena masing-masing lembaga punya wilayah sendiri-sendiri.
Dan pertimbangan majelis hakim PN Cibinong yang didasarkan pada bukti-bukti yang diajukan penggugat perkara itu hampir 80 persen tidak punya kekuatan hukum. Bukti yang disodorkan adalah fotokopi diatas fotokopi yang seharusnya dikesampingkan oleh majelis hakim.
Anehnya, tambah dia, kemudian majelis hakim mempertimbangkann bukti itu dengan diberi tanda P-20, sementara bukti itu tidak ada dalam daftar bukti dalam perkara nomor 31 tersebut.
Dengan demikian, putusan PN Cibinong itu, secara hukum adalah cacat hukum dan mengakibatkan tidak sah dan batal karena tidak mempunyai kekuatan yang berlaku sah menurut hukum.
Menurut Yohanes, munculnya perkara di PN Cibinong itu, karena sebagian besar besitua itu saat ini sudah dibawa keluar dari wilayah Freeport dsn sudah berada di luar Papua, paling tidak sudah tersebar ke 17 propinsi di luar Paropinsi Papua.
Ia menyatakan, perkara kasus besitua itu sekarang ada di beberapa pengadilan di seluruh Indonesia. “Kami belum mengungkapkan siapa yang bawa keluar Papua dan tiba-tiba besitua itu hilang dari mil 3850 di Freeport dan berada di luar Freeport,” tegasnya.
Ditambahkan sekarang ini sudah banyak industri pelebur besi tua yang mencari dan ingin mendapatkan besi tua tersebut. Karena nilainya memang sangat menggiurkan sekitar triliunan rupiah. Harga besitua itu sekitar Rp 5.000 per kg dan tembaga 100.00 per kg. (jos)