Distribusi solar kepada nelayan, diharapkan tepat sasaran dan meningkatkan hasil laut nelayan. (foto/ist)

Surabaya, (pawartajatim.com) – Pagi itu, di dermaga nelayan Jember, deretan kapal kecil tampak bersandar. Beberapa nelayan baru saja kembali dari melaut, Sementara yang lain mengisi solar bersubsidi di SPBU nelayan setempat.

Sejak penerapan barcode melalui aplikasi MyPertamina, proses pembelian terlihat lebih teratur. Namun, dibalik tertibnya antrean, masih ada pertanyaan besar. Apakah solar bersubsidi benar-benar sampai ke tangan yang tepat?

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember, Ciplis Gema Qoriah, melihat langkah Pertamina sudah mengarah ke jalur yang benar. “Pembatasan lewat barcode dan digitalisasi adalah langkah maju,’’ kata Ciplis, Selasa (12/8).

Tapi, menurut dia, apakah solar itu dipakai untuk usaha, ditimbun, atau dijual lagi, itu belum terdeteksi. Ia mengingatkan adanya potensi moral hazard dari berbagai pihak mulai dari nelayan, SPBU, hingga oknum yang bermain di pasar gelap.

“Sistemnya sudah ada, tapi celahnya juga masih terbuka,” kilahnya. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, solar bersubsidi hanya boleh diberikan kepada kelompok tertentu. Seperti nelayan dengan kapal dibawah 30 GT yang telah terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Serta pelaku budidaya ikan skala kecil dengan rekomendasi pemerintah daerah. Meski begitu, Ciplis menilai distribusi akan lebih efektif jika data penerima terus diperbarui dan diverifikasi secara berkala.

Anak nelayan, misalnya. Kalau mereka sudah pindah profesi, apa masih layak dapat solar bersubsidi? Itu harus jelas. Data penerima harus up to date. Ia menilai Pertamina bisa berperan lebih lewat program CSR.

Mulai dari bantuan alat tangkap hingga mendukung hilirisasi produk perikanan. Namun, ia menekankan pentingnya transparansi penggunaan dana tersebut. Pandangan senada datang dari Dosen Ekonomi Universitas Surabaya, Bambang Budiarto.

Namun, ia melihat akar masalah dari sudut berbeda: model subsidi. “Selama subsidi melekat pada barang, akan sulit dikontrol. Subsidi seharusnya melekat pada orang,” ujarnya.

Menurut Bambang, meski Pertamina sudah melakukan digitalisasi dan berbagai program, penyimpangan tetap muncul karena ada pihak yang mahir memanipulasi administrasi. Ia menilai solusi yang paling masuk akal adalah memastikan barcode hanya diberikan kepada penerima yang benar-benar memenuhi kriteria.

Di dermaga, matahari mulai meninggi. Kapal-kapal yang sudah terisi solar bersubsidi perlahan berlayar kembali ke laut. Sistem barcode memang sudah menandai siapa yang membeli, tapi memastikan solar itu benar-benar untuk melaut bukan untuk kepentingan lain, tetap menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai. (ony)