Malang, (pawartajatim.com) – Tragedi Kanjuruhan di laga Arema FC vs Persebaya yang menyebabkan 129 orang tewas membuat kita prihatin. Peristiwa yang dimulai adanya ricuh suporter dan dibalas aparat dengan menembakkan gas air mata bukan yang kali pertama. Korban tewas di stadion dengan sebab-sebab lain juga telah banyak berjatuhan.
‘’Bonek Writers Forum (BWF) mendesak agar semua stakeholders fokus untuk menyelesaikan permasalahan di dalam sepakbola Indonesia,’’ kata Iwan Iwe, anggota Bonek Writers Forum (BWF) Minggu (2/10)
‘’Penghentian liga memang salah satu langkah, namun jangan lupakan akar dari permasalahan yakni tak adanya regulasi untuk mengantisipasi agar peristiwa serupa tidak terjadi di masa mendatang,’’ tambahnya.
Selain mengucapkan duka cita mendalam atas jatuhnya korban baik suporter maupun petugas keamanan, BWF memberikan beberapa rekomendasi agar peristiwa serupa tidak terulang. Diantaranya, mendesak DPR RI membuat pansus untuk menyelidiki peristiwa berdarah ini.
Mendorong pemerintah bersama DPR menyusun dan membuat UU suporter seperti di Inggris saat pemerintah dan parlemennya membuat UU usai tragedi Hillsborough. Meminta PSSI bertanggungjawab atas peristiwa ini karena jatuhnya korban tewas dan luka di stadion telah berulangkali terjadi.
Menstandarisasi prosedur penanganan massa sepakbola oleh petugas keamanan. Petugas keamanan mengikuti aturan FIFA dengan tidak lagi menggunakan gas air mata untuk mengatasi ricuh penonton di dalam stadion.
Announcer pertandingan wajib menyebutkan titik kumpul serta arah evakuasi sebelum laga dan sepanjang laga, dan waktu lainnya mengantisipasi kericuhan. Seluruh stadion harus berkursi atau all seater stand. Tidak boleh ada lagi terrace stand atau tribun beton.
‘’Ini penting untuk menentukan dengan akurat jumlah penonton di stadion,’’ ujarnya. Kapasitas tiket yang dicetak hendaknya tidak full, tapi ada spare 5 persen kursi kosong untuk proses evakuasi. Jam pertandingan untuk laga-laga bertensi tinggi harus digelar sore atau kalau perlu tanpa penonton.
Pembatasan jam tanding paling larut pukul tujuh malam, sehingga penonton tidak pulang kemalaman mengingat sistem transportasi di Indonesia belum sebagus sistem transportasi di eropa yang memungkinkan pertandingan digelar larut malam.
Wasit harus menghentikan pertandingan saat dari tribun ada nyanyian provokatif dan rasis dengan lirik penuh kebencian seperti ajakan pembunuhan. (riz)