Surabaya, (pawartajatim.com) – Gerakan Aktivis 98 (Gerak98) Surabaya mendesak semua pasangan capres-cawapres pada Pemilu 2024 memiliki langkah konkret dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Sejumlah aktivis 98 menyebut sudah 25 tahun kasus pelanggaran HAM hingga saat ini belum ada titik terang.

Hal itu terungkap saat diskusi dan bedah buku ‘Buku Hitam Prabowo Subianto’ karya Buya Azwar Furgudyama di Surabaya, yang menghadirkan Aktivis 98 dan Penggerak Sosial Dandik Katjasungkana, pegiat HAM Firmansyah, Pegiat Pemilu dan Demokrasi Hasnu Ibrahim, Presiden BEM ITS Agil Wahyu Ramadhan, serta Pengamat Politik Mohammad Khoirul Umam.

Aktivis penggerak sosial asal Surabaya, Dandik Katjasungkana menekankan keadilan harus ditegakkan. Permintaan keluarga korban sederhana. “Mereka ingin keadaan keluarganya yang hilang dijelaskan oleh pemerintah. Jika mereka meninggal, di mana makamnya. Bila masih hidup, di mana kiranya keberadaanya,” kata Dandik di Surabaya, Minggu (17/12/2023).

Dandik menyebut masih ada 13 aktivis yang dinyatakan hilang saat memperjuangan keadilan dan demokrasi pada 1997-1998. “Total ada 23 aktivis yang dinyatakan diculik, 9 dilepaskan, 1 orang ditemukan meninggal dunia, dan 13 lainnya masih dinyatakan hilang sampai saat ini,” ungkapnya.

Ia berharap capres dan cawapres yang nantinya terpilih pada Pemilu 2024 untuk melaksanakan rekomendasi dari DPR RI mengenai penyelesaian kasus pelanggaran HAM, khususnya yang terjadi pada 1998.

Adapun rekomendasi tersebut adalah melaksanakan pengadilan HAM ad hoc, yakni pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan sebelum adanya UU 26/2000 tentang Pelanggaran HAM.

“Pemerintah juga harus segera membentuk tim pencarian di mana 13 aktivis yang masih hilang hingga hari ini,” tegasnya. Sementara, Pegiat Pemilu dan Demokrasi, Hasnu Ibrahim, menjelaskan acara bedah buku ini masih dalam rangkaian peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang jatuh pada 10 Desember.

“Sekaligus itu sebagai alarm bagi publik bahwa ada tragedi kemanusian yang masih belum diselesaikan oleh negara hingga hari ini. Selain itu, kegiatan tersebut juga bertujuan untuk kembali mengingatkan sejarah kelam pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia kepada mahasiswa dan aktivis milenial,” pungkas Hasnu. (red)