Oleh: Stevani Joune Esterlin Tangkudung (Mahasiswa S2 Hukum Unesa)
Dunia peradilan pidana Indonesia dewasa ini berada di persimpangan jalan. Disatu sisi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP tahun 1981 yang sampai saat ini masih digunakan sering dijuluki sebagai ‘karya agung’. Namun, kini telah dianggap usang dan dimakan oleh zaman yang semakin dinamis.
Disisi lain, adanya Rancangan KUHAP (R-KUHAP) yang sedang digodok menjanjikan modernisasi. Namun, sekaligus membawa kekhawatiran akan munculnya celah atas kesewenang-wenangan baru. Ibarat pedang bermata dua demikianlah R-KUHAP ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat.
Salah satu poin paling krusial dalam pembaruan kini adalah lahirnya lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Mengapa Hakim pemeriksa pendahuluan dibutuhkan? Kasus Vina Cirebon pada tahun 2016 yang sangat viral, bahkan diangkat menjadi sebuah film layar lebar menjadi contoh lemahnya kontrol Yudisial di tahap penyidikan.
Sehingga berujung pada dugaan adanya salah tangkap dan penggunaan kekerasan hanya untuk mengejar pengakuan. Jika R-KUHAP sudah diterapkan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan sudah diterapkan secara substantif maka, hakim tidak hanya akan melihat apakah ada surat penangkapan.
Melainkan juga disertakan dengan bukti permulaannya cukup dan diperoleh secara sah. Maka, tragedi kemanusiaan akibat error in persona atau salah orang tidak lagi akan terulang. Pakar Ahli Hukum Pidana dan merupakan Dosen Universitas Negeri Surabaya, Dr Aditya Wiguna Sanjaya, S.H.,M.H.,M.H.Li menilai bahwa pembaruan KUHAP perlu diarahkan pada Hak Asasi Manusia/HAM dan kepastian hukum.
Menurutnya, ada beberapa poin penting yang menjadi sorotan yakni:
-Penguatan Hak Tersangka/Terdakwa
KUHAP baru diharapkan memberi ruang lebih besar bagi tersangka untuk mendapatkan pendampingan hukum sejak awal penyidikan, termasuk akses terhadap informasi perkara secara transparan.
-Aturan Penyitaan yang Lebih Adil
Penyitaan barang bukti harus mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik, sehingga tidak merugikan orang yang tidak terlibat dalam perkara pidana.
-Keterangan Ahli sebagai Alat Bukti
Keterangan ahli yang relevan dapat dijadikan alat bukti resmi, karena dapat membantu hakim memahami perkara secara lebih objektif.
-Modernisasi Proses Peradilan
Pemanfaatan teknologi informasi dalam proses penyidikan dan persidangan dinilai penting untuk mempercepat proses hukum dan mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang.
Hakim tidak lagi hanya memeriksa prosedur formal. seperti sah tidaknya tanda tangan surat penangkapan, Tetapi masuk ke substansi alat bukti. Inilah harapan baru bagi terdakwa. Adanya kontrol dari Yudisial yang lebih ketat sejak tahap penyidikan.
Potensi salah tangkap atau rekayasa kasus diharapkan bisa ditekan seminimal mungkin. Namun demikian, muncul pertanyaan apakah itu merupakan angin segar? seperti yang sudah disinggung diatas bahwa ada sisi lainnya yang tidak boleh kita abaikan atau menutup mata terhadap potensi “karpet merah” bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Para aktivis HAM dan praktisi hukum banyak mengkritisi bahwasannya pengaturan mengenai penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang lebih luas dengan berlindung dibalik kata efisiensi penyidikan dapat menjadi bumerang apabila tidak berjalan beriringan dengan mekanisme komplain yang kuat bagi warga negara.
Kriminalisasi yang berlebihan dapat penulis katakan jika hukum acara ini digunakan hanya demi menegakkan pasal-pasal dalam KUHP baru yang masih dianggap kontoversial seperti pasal penghinaan kekuasaan umum, maka KUHAP pun baru hanya akan menjadi alat represi yang lebih efektif.
Disisi lain, kekhawatiran mengenai “karpet merah” bagi kesewenang-wenangan dapat berkaca pada penggunaan pasal-pasal karet dalam UU ITE atau pasal penghinaan penguasa.
Misalnya, dalam beberapa kasus aktivis lingkungan atau warga yang mengkritik kebijakan daerah sering kali langsung dihadapkan pada upaya paksa (penangkapan/penyitaan) yang sangat cepat.
Tanpa mekanisme komplain yang kuat dan independen dalam KUHAP baru, perluasan wewenang penyadapan dan penggeledahan dikhawatirkan akan melegitimasi praktik surveillance (pengawasan) yang represif terhadap suara kritis masyarakat, yang justru menjauhkan kita dari cita-cita negara hukum yang demokratis.
Akhirnya, KUHAP baru bukan hanya sebuah tujuan akhir, melainkan sarana menuju keadilan bagi bangsa. Sebagus apapun isi regulasi dalam peraturan perundang-undangannya jika budaya hukum yang belum berubah melekat pada mentalitas para penegak hukum yang masih mengedepankan pendekatan kekuasaan daripada pelayanan untuk mencapai keadilan.
Maka, ia hanya akan tetap di tandai sebagai alat kesewenang- wenangan. Di era modernisasi hukum acara ini juga membawa perubahan melalui Restorative Justice dimana hukum tidak lagi selalu berakhir di balik jeruji besi.
Tetapi kasus – kasus kecil dapat diakhiri dengan perdamaian dan pemulihan hak korban menjadi prioritas. Ini adalah langkah maju untuk Indonesia dalam mengurangi kelebihan kapasitas penjara yang sudah kronis.
Namun demikian, pengawasan yang ketat juga harus diperhatikan sebagai wujud integritas para penegaknya. Tanpa adanya transformasi mentalitas penegak hukum – dari yang semula mengedepankan kekuasaan menjadi pelayan keadilan – KUHAP baru hanya akan menjadi “baju baru” bagi praktik-praktik lama. (*)











