Srawungan Arek Kampung Suroboyo

Oleh : Ponang Adji Handoko/Cak Bonang (Aktivis Srawungan Arek Kampung Suroboyo/AKAS)

Surabaya, (pawartajatim.com) – Ada satu kata yang lahir dari rahim kebudayaan Jawa dan terus berdenyut di nadi kehidupan masyarakatnya: srawung. Kata yang sederhana tapi sarat makna ini sejatinya adalah filosofi hidup.

Ia bukan sekedar kumpul-kumpul, kongkow atau nongkrong bareng. Tetapi peristiwa batin yang menghubungkan satu jiwa dengan jiwa lain, satu hati dengan hati yang lain. Dalam srawung, manusia tak hanya hadir secara fisik, melainkan juga secara rasa. Membangun jembatan empati, mendengarkan dan berbagi makna kehidupan.

Dalam konteks masyarakat urban seperti Surabaya, nilai srawung menemukan bentuknya yang unik. Arek-arek Suroboyo – sebutan untuk warga kota ini – dikenal dengan karakter yang keras, lugas, tapi berhati hangat.

Mereka mungkin bicara dengan suara lantang, gaya yang meledak-ledak dan bahasa yang tanpa tedeng aling-aling. Tapi dibalik itu tersimpan jiwa besar yang menjunjung tinggi solidaritas dan keberanian. Sejarah mencatat, semangat Arek Suroboyo bukanlah sekedar mitos lokal.

Ketika pasukan sekutu mendarat di tanah mereka pasca-proklamasi, puluhan ribu warga bangkit tanpa gentar. Dari peristiwa heroik itulah lahir Hari Pahlawan, simbol keberanian yang abadi. Namun, keberanian Arek Suroboyo tak hanya terpatri dalam medan perang. Ia juga hidup dalam keseharian – dalam cara mereka bekerja, bersahabat, dan bergaul.

Di warung kopi pinggir jalan, di gang-gang sempit, atau di pasar tradisional, srawungan menjadi denyut kehidupan kota. Disitulah lahir perbincangan, ide-ide, dan tawa bersama. Bagi mereka, srawung bukan sekedar obrolan kosong, tapi cara untuk merawat kebersamaan dan saling memahami dalam keberagaman.

‘‘Srawung iku urip,” kata Mbah Nun – Emha Ainun Nadjib – dalam salah satu refleksinya. Hidup tanpa srawung, menurut dia, adalah hidup yang kehilangan roh kemanusiaan. Di kota sebesar Surabaya yang menjadi melting pot berbagai etnis dan agama, srawungan memiliki fungsi sosial yang krusial.

Ia menjadi semacam lem perekat yang menyatukan berbagai lapisan masyarakat dalam satu semangat gotong royong. Dalam konteks pluralisme, srawung berperan sebagai jembatan yang mereduksi prasangka dan kecurigaan antar umat beragama.

Melalui srawung, orang belajar bahwa perbedaan tidak harus melahirkan permusuhan, melainkan bisa menjadi ladang untuk saling belajar. Seorang antropolog budaya dari Universitas Airlangga, Dr. Ninik Kurniasih, pernah menyebut bahwa ‘Srawung dalam konteks masyarakat urban adalah bentuk resistensi kultural terhadap individualisme modern’.

Artinya, ketika dunia semakin terfragmentasi oleh teknologi dan ego, srawung hadir sebagai ruang untuk memulihkan kemanusiaan yang terbelah. Karakter ‘Arek’ sendiri lahir dari wilayah kebudayaan yang meliputi Surabaya, Malang, Gresik, Sidoarjo, dan sekitarnya – kawasan yang dikenal dinamis, egaliter, dan terbuka.

Dalam bahasa budaya, ‘Arek’ bukan sekadar identitas geografis, tetapi mentalitas sosial. Mentalitas yang tidak mengenal hierarki kaku, tidak tunduk pada feodalisme, dan selalu siap beradu argumentasi dengan semangat kebebasan.

Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali semangat Srawungan Arek Kampung Suroboyo — bukan hanya sebagai romantisme budaya, tapi sebagai kebutuhan sosial yang mendesak. Sebab kota yang kehilangan srawung akan kehilangan jiwanya, sebagaimana manusia yang kehilangan empati akan kehilangan kemanusiaannya.

Di bawah terik matahari atau di tengah riuh kota pelabuhan, semangat srawung itu masih bisa dirasakan – diantara tawa anak-anak yang bermain di gang, diobrolan tukang becak, dinyanyian pengamen jalanan, bahkan di sapaan spontan ‘rek!’ yang membuat setiap orang merasa diterima.

Surabaya bukan hanya kota pahlawan dalam sejarah perang, tapi juga kota yang mengajarkan arti keberanian sosial: berani bersahabat dengan siapa pun tanpa memandang latar belakang. Itulah, jiwa dan roh Srawungan Arek Kampung Suroboyo – sebuah kultur yang menjahit masa lalu dengan masa depan, mengajarkan bahwa kebersamaan adalah bentuk paling luhur dari keberanian.

Sebab selama Arek-arek Suroboyo masih mau srawung, Surabaya akan tetap menjadi kota yang bukan hanya hidup – tapi menghidupkan. (*)