Inilah Seorang General Manager Hotel yang Dikenal dan Dikenang Masyarakat Dunia

Oleh : Nanang Sutrisno (Redaktur pawartajatim.com)

Menjadi seorang General Manager/GM adalah impian tersendiri bagi pelaku hotel di manapun berada. Namun, tidak semua bisa mencapai urutan tangga teratas pada bisnis akomodasi ini. Dalam kilas balik perjalanan kalaidoskop sekitar tahun 1994, terdapat seorang GM Hotel yang namanya dikenal seantero jagat.

Namanya Paul Rusesa Bagina, GM Hotel Milichollins, yang merupakan properti negara Belgia di Rwanda, Benua Afrika. Nama Paul Rusesa Bagina, viral dan melambung, dikarenakan dia telah melakukan sesuatu hal di luar kapasitas dan tanggung jawabnya.

Yaitu, menyelamatkan pengungsi etnis Tutsi yang merupakan kelompok suku minoritas di Rwanda yang diserang oleh suku mayoritas Hutu. Paul sendiri adalah pria dari suku Hutu. Sedangkan Tantiana, istrinya berasal dari suku Tutsi.

Tentu saja hal ini menyulitkan posisinya. Apalagi hotel tempatnya bekerja, digunakan oleh PBB sebagai tempat pengungsian bagi etnis Tutsi. Sebelum konflik antar suku benar-benar pecah, Paul kerap kali mengajak staffnya untuk berbelanja bir dan kebutuhan konsumsi hotel lainnya ke tempat George Rustaganda yang ternyata merupakan pimpinan pemberontak Interhumwe.

George mendesak Paui untuk bergabung ke Interhumwe. Bahkan, ajakan tersebut diselipi ancaman. Menjelang pulang, Paul, diberi seragam Interhumwe agar tidak mengalami gangguan dalam perjalanan.

Benar saja, saat perjalanan pulang mereka dicegat milisi. Hal ini diperparah dengan diketahui bahwa sopir yang membawa mobil yang mereka tumpangi berasal dari suku Tutsi. Beruntung Paul segera menunjukkan seragam Interhumwe pemberian George Rustaganda.

Sebagai seorang manager, Paula berusaha tampil profesional dan bertanggung jawab. Hal ini ditunjukkan ketika sepasukan tentara pemerintah dari etnis Hutu melakukan pemeriksaan terhadap hotel tersebut.

Sang manager memberikan manives atau pernyataan daftar tamu yang menginap. Namun, data yang diberikan adalah data lama yang isinya warga asing. Sementara, data tamu sebenarnya yang berisi pengungsi warga Tutsi sengaja dihilangkan.

Tidak hanya itu, Paul memerintahkan staffnya untuk melepas semua nomor kamar yang menempel di pintu. Hal ini juga untuk mengaburkan keberadaan kamar yang berisi tamu pengungsi.

Walaupun Jenderal Angkatan Darat setempat, Agustin Bizimungu selalu diberikan uang sogokan berupa ratusan botol bir agar hotelnya dilindungi dari serbuan pemberontak dari Front pemberontak dari Suku Hutu Interhumwe.

Namun, sang Jenderal Agustin Bizimungu, tetap selalu minta setoran. Sehingga Paula harus menyerahkan simpanan emas dan dollarnya yang disimpan di brankas hotel. Belum lagi perhiasan yang dikumpulkan dari tamu hotel asal pengungsi Tutsi yang nyawanya terancam, karena akan dibunuh oleh pasukan tentara tersebut.

Di tengah situasi yang sulit karena owner hotel memilih pulang ke Belgia, dan Paula harus memimpin hotel tersebut sendirian. Beruntung saja sebagian besar mendukung kepemimpinannya. Namun ternyata, ada saja staff yang indisipliner. Tidak loyal dan melakukan pembangkangan dalam bekerja.

Tidak hanya itu, si staff tersebut memberitahukan keberadaan konvoi pengungsi Tutsi yang melintas menuju perbatasan yang dikawal tentara PBB yang dipimpin Kolonel Oliver asal Kanada.

Hampir saja, Tantiana terbunuh ketika konvoi tersebut dihadang di jalan oleh pasukan pemberontak dari Suku Hutu karena keberadaan mereka diberitahukan oleh pegawai tersebut.

Langkah lain yang diambil Paul selaku manager adalah meminta setiap pengungsi yang berada di hotelnya untuk menghubungi keluarga, sahabat atau siapapun. Dan berpamitan, bahwa mereka tidak lagi memiliki harapan hidup. Sehingga mereka perlu ditolong.

Sementara, Paul sendiri menghubungi owner-nya, dan memberikan laporan, bahwa dia akan menghentikan operasional dan menutup hotel yang diserahkan kepadanya, atas pertimbangan keamanan.

Tentu saja sang owner tidak ingin kehilangan propertinya tersebut. Segera dia menelpon Presiden Belgia agar menghubungi pimpinan militer Rwanda agar tidak menyentuh hotel miliknya dengan disertai ancaman pengerahan tentara apabila hal ini diabaikan.

Upaya ini ternyata berhasil. Hotel ini tidak lagi disentuh lagi oleh tentara ataupun pemberontak. Sementara, PBB dan lembaga dunia lainnya mulai memberikan perhatian dengan memberikan bantuan Armada dan pengawalan untuk mengangkut pengungsi dari hotel menuju titik aman di perbatasan.

Singkat cerita, keadaan berbalik. Pemberontak Suku Hutu berhasil dikalahkan oleh Pasukan Suku Tutsi yang memiliki senjata lebih modern di berbagai pertempuran. Dan keadaan akhirnya kembali aman terkendali seperti suasana sebelumnya.

Perekonomian, perdagangan kembali normal, dan Hotel di Rwanda seperti Miicholins dan Caesar. Sejarah mencatat, bahwa konflik selama 100 hari di Rwanda, telah menelan korban sebanyak 1 juta orang.

Dan Hotel Rwanda sendiri berhasil menyelamatkan pengungsi. Baik suku Tutsi maupun Hutu sebanyak 1.268 orang. Paul Rusesa Bagina menghabiskan masa tuanya di Belgia, dan menjadi seorang politisi dan aktifis kemanusiaan.

Sementara Jenderal Agustin Bizimungu dan Pemimpin Milisi Hutu Interhumwe, George Rustaganda ditangkap oleh PBB dan dinyatakan sebagai penjahat perang. (*)