Surabaya, (pawartajatim.com) – Tangisan panjang Nararya Turukbali menjelang kehancuran istana Kadiri. Hari itu adalah hari-hari terakhir yang diingat oleh Nararya Turukbali, permaisuri Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Kadiri, baru setahun yang lalu istana Kadiri di tempati oleh keluarganya, setelah suaminya berhasil mengalahkan Prabu Kertanegara dan menghancurkan Kerajaan Singasari, kemudian Kerajaan Gelang-gelang yang dipimpinnya bersama suaminya itu disatukan dengan Kerajaan Kadiri yang merupakan Kerajaan leluhur suaminya.
Kini dihadapannya adalah istana terbakar yang sudah terkepung musuh yang siap menjebol gerbang dan memporak-porandakan apa yang ada didalam, bahkan juga melakukan pembantaian tanpa rasa belas kasihan.
Nararya Turukbali tahu bahwa prajurit Kadiri yang dipimpin oleh Patih Mahisa Mundarang, yang dibantu Mantri Segara Winotan, dan Senapati Jaran Guyang tidak akan mampu bertahan menghadapi gabungan pasukan Majapahit, Kadipaten Songenep, dan prajurit Tartar dari Kekaisaran Mongol.
Musuh yang datang bukanlah sembarang lawan, mereka adalah prajurit pilih tanding yang sudah berpengalaman menghadapi lawan yang hebat di setiap pertempuran. Prajurit Majapahit dan Songenep merupakan bagian dari laskar Singasari yang berkali-kali dikirim untuk misi penaklukan di luar pulau.
Sedangkan pasukan Mongol mempunyai sejarah panjang penaklukan kerajaan besar di Asia Tengah hingga ke daratan Eropa, mereka sangat piawai dalam menghancurkan dan menjarah benteng pertahanan lawan.
Selain itu para ksatria pimpinan pasukan lawan adalah sosok yang sakti mandraguna dan sangat berpengalaman dalam bertempur, sehingga bukan lawan yang pantas untuk dihadapi oleh Prajurit Kadiri.
Mulai Raden Wijaya, Lembu Sora, Nambi dari Majapahit, Arya Wiraraja, dan Ranggalawe dari Songenep serta Panglima Ike Mese, Panglima Che Pi, Panglima Khau Sing, dan Perwira Yung Po dari Kerajaan Mongol.
Menurut Pararaton, Istana Kadiri akhirnya berhasil dikuasai, setelah hampir seharian bertempur, Patih Mahisa Mundarang dan semua perwiranya tewas dalam pertempuran, sementara Prabu Jayakatwang dan putra mahkota Raden Ardharaja berhasil tertangkap, kemudian ditawan dan dibawa oleh tentara Mongol ke perkemahan Ujung Galuh.
Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Provinsi Jawa Timur/Jatim adalah salah satu lembaga yang menaruh perhatian terhadap Kerajaan Singasari dan Majapahit, berbagai penelitian telah dilakukan untuk mempelajari kerajaan peninggalan Wangsa Rajasa tersebut.
“Sebenarnya kehancuran karena perang tersebut tidak perlu terjadi, karena hubungan antara Kertanegara dan Jayakatwang sangat dekat, mereka adalah sepupu,ipar ,sekaligus besan,,” kata Wakil Ketua Bidang Manuskrip BKN Jatim, Nanang Sutrisno, kepada pawartajatim.com, di Surabaya Kamis (23/5/2024).
Betapa hati Nararya Turukbali tidak pedih menyaksikan peristiwa demi peristiwa berdarah yang terjadi, Andai saja Jayakatwang suaminya, mau mendengar masukannya dan tidak menyerbu Kerajaan Singasari, seperti yang disarankan Adipati Songenep, Arya Wiraraja kepada suaminya.
Menurut Prasasti Mula Malurung, Nararya Turukbali dan Kertanegara adalah kakak adik, putra dari pasangan Raja Ranggawuni dan Nararya Wahningyun dari Kerajaan Singasari, sedangkan Jayakatwang adalah anak dari Pasangan Sastrajaya dan Nararya Dewi yang merupakan adik Ranggawuni.
Sehingga dalam Pararaton sering disebutkan Ranggawuni sering menyebut keponakannya itu sebagai anaknya sendiri. Darah Kadiri mengalir kental dalam diri Jayakatwang, karena Sastrajaya, ayahnya, adalah anak dari Jayasabha.
Sedangkan Jayasabha merupakan anak dari Raja Kertajaya atau Dandang Gendis yang dikalahkan oleh Ken Angrok dalam pertempuran Ganter pada Tahun 1222 Masehi. Sehingga hal ini sedikit banyak menjadi pemicu dendam kesumat dalam dada Jayakatwang.
Hal ini diperparah dengan pengangkatan Kertanegara sebagai raja Singasari, sebelumnya Kertanegara adalah raja bawahan di Kadiri, sedangkan Nararya Turukbali menjadi raja di negeri bawahan Gelang-gelang.
Jayakatwang merasa berpendapat seharusnya istrinya yang lebih berhak menjadi raja di Kadiri, kemudian di Singasari, karena Nararya Turukbali adalah anak pertama walaupun seorang perempuan. Sesungguhnya Kertanegara juga mengetahui perihal ketidakpuasan yang dirasakan oleh kakak iparnya tersebut.
Karena itu, raja Singasari tersebut berusaha melakukan pendekatan dengan menjadikan putra Jayakatwang, Ardharaja sebagai menantu, dan mengangkatnya sebagai senapati di kerajaan Walaupun pada akhirnya kebijakan tersebut tidak berarti apa-apa.
Ibarat bunyi pepatah, Neroko Katut, Suwargo Nunut. Mau tidak mau, Nararya Turukbali harus mendukung keinginan suaminya tersebut, walaupun dia harus berhadapan dengan Kertanegara, kakaknya dan keluarga besarnya yang ada di Singasari.
“Nararya Turukbali dan Ratu Tapasi Istri Raja Jayasibghawarman dari Kerajaan Campa, adalah saudara perempuan Kertanegara dan memiliki kedekatan yang sangat dekat sekali,” ujar Nanang Sutrisno, yang juga Ketua Komunitas Sejarah Singasari-Majapahit.
Lembaran peristiwa seakan-akan terlihat jelas dalam bayangan Nararya Turukbali, walaupun menyesakkan dada, dia tidak ingin menyudahi bayangan yang sudah hadir tersebut. Awalnya perempuan ayu bertubuh gemuk itu melihat bayangan dirinya sedang bersenda gurau dengan adiknya Kertanegara, dan Tapasi.
Kemudian hadir bayangan saat pesta perkawinannya dengan Jayakatwang, hingga terlihat dia saat menggendong putranya, Ardharaja. Tiba-tiba dia mendengar suara gemuruh dari luar bilik peraduannya, rupanya tentara musuh sudah memasuki istana, dan dia merasakan bahwa hawa panas yang bersumber dari api yang telah membakar habis sebagian besar ruangan.
Antara sadar dan tidak, istri Jayakatwang merasa pandangannya gelap, dan dadanya sesak. Tiba-tiba dia melihat sosok adiknya g dicintainya, Kertanegara melambaikan tangannya mengajaknya untuk pergi ketempat yang lebih dingin dan lebih terang.
“Sontak Nararya Turukbali mengiyakan ajakan itu, dia segera meraih patrem atau pisau kecil dan langsung menghujamkan ke arah perutnya, Ibu Ardharaja itupun langsung terkulai lemas tidak bernyawa,” tambah Nanang Sutrisno, yang juga kolektor keris dan batu mulia ini.
Prabu Jayakatwang sangat bersedih, saat mendapati tubuh istrinya sudah terbujur kaku, dia merasa sudah kehilangan segalanya. Ditengah suasana hati yang sudah kacau balau itu dia memutuskan untuk kembali bertempur dengan membabi buta, hingga akhirnya dia menyerah sebagai seorang tawanan.
Di perkemahan Mongol di Ujung Galuh, tempat Jayakatwang ditawan, dia sempat menulis kidung Wukir Polaman untuk mencurahkan isi hatinya, termasuk ambisinya, kesedihan, dan Kepedihannya. (nanang)











