Surabaya, (pawartajatim.com) – Kerajaan Singasari yang dipimpin Wangsa Rajasa benar-benar menarik perhatian banyak orang. Baik kalangan akademis, pecinta sejarah, hingga wartawan, dan penulis buku.

Wangsa Rajasa didirikan oleh Ken Angrok yang bergelar Sri Rangga Rajasa Batara Amurwabhumi, setelah mengakhiri dominasi kekuasaan Wangsa Isyana yang berkuasa ratusan tahun lamanya. Mulai zaman Raja Pu Sendok yang memerintah di Kerajaan Mataram Hindu, Prabu Dharmawangsa di Medang, Prabu Airlangga di Kahuripan, hingga Prabu Kertajaya di Kadiri.

Raja Kerajaan Kadiri tersebut berhasil dikalahkan dan dibunuh oleh Ken Angrok dalam pertempuran di Desa Ganter, Ngantang, Kabupaten Malang sekarang. Prabu Kertajaya yang memiliki nama asli Dandang Gendis gugur bersama adiknya, Mahisa Walungan dan patihnya Gubar Baleman.

Seperti halnya wangsa lain di Nusantara. Wangsa Rajasa pun juga mengalami prahara perebutan kekuasaan di kalangan keluarga Kerajaan. Pembunuhan demi pembunuhan terus terjadi, Tunggul Ametung, Ken Angrok, Anusapati, Panji Tohjaya adalah korbannya.

Prahara itu nyata tertulis dalam Prasasti Mula Malurung, Kitab Pararaton maupun Negarakertagama. Dan percobaan pembunuhan telah mencapai tingkat ke tiga, dimana Ranggwuni dan Mahisa Cempaka menjadi target utamanya.

Ranggawuni adalah putra dari Anusapati, sedangkan Mahisa Cempaka adalah putra dari Mahisa Wungatelang. Mereka adalah cucu Ken Dedes, dan memiliki kesamaan nasib, nyawanya menjadi incaran Panji Tohjaya, anak Ken Dedes yang berkuasa di Kerajaan Singasari.

Saat ini banyak lembaga yang  konsentrasi dalam melakukan penelitian Kerajaan Singasari dan Majapahit, diantaranya Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Provinsi Jawa Timur/Jatim. Sudah hampir lima tahun, BKN Jatim melakukan berbagai kajian dan penelitian terkait konflik berdarah yang melanda keluarga Wangsa Rajasa dan peranan masing-masing orang yang terlibat didalamnya.

Wakil Ketua Bidang Manuskrip dan Prasasti BKN Jatim, Nanang Sutrisno, berhasil mengungkap motif rencana pembunuhan Tohjaya kepada kedua keponakannya itu. “Ketakutan berlebihan Tohjaya atas nyawa dan tahta yang dipegangnya, membuat Tohjaya berbuat nekat,” kata Nanang Sutrisno, kepada pawartajatim.com, Rabu (15/5/2024).

Sejarah mencatat bahwa Tohjaya memerintahkan Lembu Ampal untuk menghabisi nyawa Ranggwuni dan Mahisa Cempaka, namun ternyata gagal, karena Lembu Ampal berbalik mendukung mereka berdua.

Dan serangan balik yang bersifat dadakan pun dilancarkan, akhirnya memaksa Tohjaya kabur dari istana dan mengakibatkan putra Ken Angrok itu gugur dalam pelariannya. Peristiwa ini terjadi di Katang Lumbang.

Gerakan yang berhasil mengoyak dan menjebol dinding dan pilar-pilar istana ini menunjukkan bahwa kedua singa muda Wangsa Rajasa ini didukung penuh oleh satuan tentara yang ada,serta seluruh lapisan rakyat Singasari.

Hal ini mengingatkan besarnya dukungan rakyat Tumapel kepada Ken Angrok untuk merebut Kerajaan Kadiri di masa silam. Akhirnya Ranggawuni-Mahisa Cempaka berhasil mengalahkan Mapanji Tohjaya dan merebut tahta Singasari.

Kedua cucu Ken Dedes tersebut   telah sepakat untuk menjalankan pemerintahan secara bersama, Ranggawuni menjabat raja, sedangkan Mahisa Cempaka menjabat Mantri Angabhaya atau panglima perang. Pararaton mengibaratkan keduanya sebagai sepasang naga dalam satu liang.

Negarakertagama Pupuh 41.2 juga mengibaratkan keduanya sebagai Wisnu dan Madhawa, dan untuk menghormati saudara sepupunya itu, nama Kerajaan Tumapel dirubah menjadi Singasari.

”Nama ini berasal dari Batara Narasinghamurti yang merupakan nama Abiseka/ kehormatan dari Mahisa Cempaka,” jelas Nanang Sutrisno yang juga Ketua Komunitas Sejarah Singasari-Majapahit ini.

Ranggawuni menggunakan gelar Abiseka Smining Rāt yang memiliki arti berseminya bumi. Gelar tersebut terdapat di Prasasti Mūla-Malurung: Narāryya Smining Rāt Śrī Yawadwīpa Samastarājādiwiśeṣānindita Sanggrāmaparakrama Digwijayāniwāryyawīryyasnaha Nāmottunggadewa

Kalau dialih bahasa kan kira-kira  arti nama gelar tersebut adalah laki-laki bangsawan bernama Smining Rāt, sang raja penguasa semesta Jawa yang agung bijaksana, tak tercela menyambut tata krama, penakluk segalanya, tak tertahankan kekuatannya, menyandang nama raja yang paling menonjol di dunia.

Selain gelar yang panjang di atas, di dalam Nāgarakṛtāgama, Pararaton, dan Prasasti Maribong dia disebut dengan gelar Wiṣṇuwardhana. Untuk lebih mempererat persaudaraan diantara mereka, Ranggwuni memperistri adik Mahisa Cempaka yang bernama Nararya Wahningyun dan dijadikan permaisuri, sementara Mapanji Anengah kelak dijadikan Mahapatih Singasari oleh Śrī Kṛtānagara, putra dari Ranggwuni.

Narārya Smining Rāt merupakan ayah dari Śrī Kṛtānagara. Kelak, putra Narārya Smining Rāt tersebut menjadi raja terakhir Singhasāri. Sedangkan cucu Mahiṣa Campaka, Dyah Sangramawijaya, menjadi raja pertama Majapahit dan mengawini keempat putri Śrī Kṛtānagara, yang merupakan cucu Narārya Smining Rāt.

Masa pemerintahan Ranggwuni-Mahisa Cempaka mampu membawa Singasari dalam keadaan damai, aman dan sentosa, keluar dari prahara pembunuhan antar keluarga yang selama ini menyelimuti Wangsa Rajasa.

“Pengaruh negatif Keris Gandring sementara dapat dinetralisir, hal tersebut dikarenakan benda pusaka tersebut tidak lagi dipegang oleh keturunan Wangsa Rajasa, bahkan tidak diketahui dimana keberadaannya,” tambah Nanang Sutrisno, yang juga kolektor berbagai senjata pusaka ini.

Masa pemerintahan yang Gemah Ripah Loh Jinawi tersebut tidak berlangsung lama, karena ada hasil penelitian yang menduga bahwa di akhir masa jabatan, terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam terkait penempatan raja di negara bawahan Singasari seperti Gelang-gelang, Daha/Kadiri, Mrono, Lwa,Wengker, Lodaya, Songenep, dan lain-lain.

Akhirnya Mahisa Cempaka memilih pecah kongsi dan mengundurkan diri. Dan kemudian putra Mahisa Wungatelang tersebut memilih menetap di negara bawahan Hering, tempat istrinya berasal.

Mahisa Cempaka meninggal dunia pada Tahun 1269 Masehi, dan didharmakan di Candi Kumitir. Berita kematian ini terdapat dalam Prasasti Penampilan yang dikeluarkan oleh Prabu Kertanegara.

Sementara, Ranggawuni meninggal dunia sekitar Tahun 1270-1272 Masehi, setelah memerintah selama 20 Tahun, yaitu Tahun 1248-1268 Masehi, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Maribong. Dan didharmakan di Candi Mleri Blitar, dan Candi Jago Malang. (nanang)