Surabaya, (pawartajatim.com) – Surabaya adalah kota besar yang memiliki usia lebih dari 700 tahun, kota ini berkembang seiring dengan peradaban kerajaan besar yang menghegemoninya. Seperti Singasari dan Majapahit.
Banyak peninggalan dari kedua kerajaan tersebut yang ditemukan. Antara lain patung, prasasti, makam, dan sumur. Selain patung Joko Dolog dan Prasasti Wurare di Embong Kaliasin, Makam Putri Campa, juga ditemukan Sumur Jobong di Kawasan Peneleh.
Pada akhir Oktober 2018, tepatnya tanggal 31 pukul 18.20 WIB saat dilakukan pekerjaan perbaikan saluran di Jalan Pandean Gang 1 RT 1 RW XIII Kelurahan Peneleh Kecamatan Genteng, tidak sengaja ditemukan sebuah sumur.
Yaitu, Sumur Jobong. Seperti halnya sumur di zaman Kerajaan Majapahit. Sumur berdiameter 83 centi meter tersebut memiliki ketebalan 2,5 centimeter, tinggi 48 centimeter, kedalaman 1 meter, dan bagian sap bawah ukurannya lebih kecil yaitu diameter 69 centimeter, tebal 3 cm, tinggi 49 cm, dengan lapisan dasar berupa pasir.
Airnya sangat jernih dan tidak pernah kering, walaupun disedot dengan mesin pompa air. Kualitasnya sejajar dengan mata air yang digunakan oleh industri air minum kemasan yang terkenal di negeri ini. Seperti layaknya Sumur Jobong di Mojokerto.
Sumur ini memiliki struktur yang sama. Yaitu, lapisan cekungan terdiri beberapa sap dengan material dari tanah liat. Bagian paling atas menggunakan pasangan batu kali yang disusun rapi. Zaman Majapahit, Sumur Jobong dibedakan menjadi 2.
‘’Yaitu di permukiman penduduk dan di bangunan peribadatan,” kata Wakil Ketua Bidang Manuskrip Badan Kebudayaan Nasional (BKN), Nanang Sutrisno, di Surabaya Rabu (17/4/2024).
Kerajaan Majapahit memang dikenal sebagai Kerajaan yang memiliki teknologi tinggi dibidang tata pengelolaan air. Banyak bangunan air yang didirikan pada zaman itu. Mulai dari bendungan, waduk, candi patirtan, kanal, drainase, hingga sumur.
Semuanya sudah menggunakan teknologi canggih di zamannya. Ditemukannya Sumur Jobong dan tulang belulang manusia, yang setelah diuji karbon di laboratorium Australia, ternyata diperkirakan berusia ratusan tahun pada zaman Kerajaan Majapahit.
Hasil pemeriksaan DNA, menunjukkan kesamaan dengan DNA yang dimiliki oleh keluarga juru kunci Sumur Jobong tersebut. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa Kampung Pandean dan Kawasan Peneleh adalah kawasan tua pada zaman Kerajaan Majapahit.
Diperkirakan pada masa itu, kawasan yang terletak diantara dua sungai ini merupakan wilayah padat penduduk yang memiliki keistimewaan tersendiri. Diperkirakan Ujung Galuh ada disini. Dulu merupakan daerah yang menjadi tempat tinggal para jawara yang bertugas menjaga kawasan sekitar bandar Pelabuhan.
‘’Jadi, semacam kawasan ekonomi khusus,” jelas Nanang, yang juga mantan anggota DPRD Kota Surabaya era 1999-2004. Menurut Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 Masehi dan Kitab Negarakertagama yang ditulis tahun 1365 Masehi, ada beberapa desa di tepian Sungai Brantas di Surabaya yang disebut Naditira Pradeca yang pernah dikunjungi Raja Majapahit, Prabu Hayam Wuruk.
Kawasan Peneleh diduga adalah salah satunya. Pemerintah Kota Surabaya telah memfasilitasi pembangunan Sumur Jobong, dengan membuat pintu bulat dari lempengan baja. Serta membuat tempat inspeksi yang dihubungkan dengan tangga.
Sehingga memungkinkan pengunjung untuk masuk dan mengambil airnya. Selain tamu pengunjung umum, baik domestik maupun mancanegara, banyak juga pelaku spiritual yang melakukan ritual di tempat ini. Mereka membakar dupa atau kemenyan untuk mencapai hasrat yang diinginkan.
“Menurut beberapa ahli spiritual, disini energinya besar sekali,” tambah nanang, yang juga mengelola komunitas Majapahit Bhumi Wilwatikta ini. Ia bercerit, pernah suatu ketika ada orang yang mengambil air dari tempat ini, katanya hendak digunakan untuk persyaratan ritual doa keselamatan bangsa dan negara bersama segenggam tanah keramat dan air suci dari tempat lain di Indonesia. (nanang)