Pilpres 2024 Tanpa Etika?

Oleh : Zainudin, Sp.d M.H., Staf Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Gajayana Malang

Menurut Kees Bartens dalam buku Sejarah Filsafat Yunani (1999), Etika adalah nilai-nilai atau norma-norma (moral) yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok untuk mengatur tingkah lakunya. Berlandaskan pendapat tersebut mari kita amati, beberapa waktu belakangan ini dalam konteks kontestasi politik, khususnya pemilihan presiden/Pilpres. Bagaimana nilai-nilai moral diabaikan untuk kepentingan dan ambisi kekuasaan.

Dimulai dari bold statement dari Jokowi, bahwa dia akan cawe-cawe dalam pemilu yang akan berlangsung. Jokowi menjelaskan maksudnya tentang cawe-cawe adalah untuk menjaga proses Pemilihan Umum/Pemilu berlangsung dengan baik, serta membuat transisi kepemimpinan negara berjalan dengan lancar.

Dengan penjelasan itu, mungkin bisa membungkam banyaknya kritikan terhadap statement tersebut. Akan tetapi beberapa saat kemudian ada putusan MK yang menetapkan ‘batas minimal umur calon presiden dan wakil presiden adalah 40th, atau sudah pernah memimpin daerah’.

Yang jelas diartikan oleh banyak pihak hal ini untuk memberikan jalan terhadap putra Jokowi yang juga Wali Kota Solo untuk ikut dalam kontestasi Pilpres pada 14 Februari 2024 ini. Dari sinilah kemudian banyak pihak menyimpulkan arti kata cawe-cawe sesungguhnya dari Jokowi. Begitukah etika pemimpin yang benar untuk mempertahankan kekuasaan?

Terkait hal ini, ada urusan kekeluargaan yang menurut saya terlalu ‘jorok’ untuk dibahas. Tapi dalam hal ini juga ada bukti pelanggaran ‘Etika’ yang dilakukan oleh pimpinan MK yang kemudian mendapat sanksi dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi/MKMK, berupa pemberhentian sebagai Ketua MK.

Selanjutnya bagaimana komitmen dalam koalisi, yang tertalu jauh untuk diterjemahkan. Tapi ada yang bisa dengan mudah kita rasakan, apa itu? Menurut saya yang bisa kita lihat adalah ‘Pengkhianatan’ yang dilakukan.

Bahkan, bukan orang partai, yang dipercaya menjadi tokoh perubahan hari ini, dia adalah Anies Baswedan. Untuk sub tema yang ini kita cepat-cepat saja membahasnya. 1. Bagaimana Anis kemudian memilih berdampingan dengan Muhaimin.

Padahal sudah berjanji akan berpasangan dengan AHY. 2. Bagaimana ide perubahan digaungkan, yang pada kenyataannya dia berpasangan dengan salah satu bagian dari rezim. Banyak hal yang bisa digunakan untuk menjawab dua pertanyaan tersebut.

Tapi dapat dipastikan dibalik semua jawaban tersebut ada ambisi untuk berkuasa yang kemudian menjadi ‘halal’ untuk berkhianat. Saya pilih ini untuk yang terakhir dari sekian banyak hal yang bisa dibahas oleh orang lain.

Adalagi baru-baru ini terjadi, yaitu memberi nilai pada penegakan hukum dalam masa pemerintahan Jokowi, nilainya kalau kata siswa siswi zaman saya mungkin dibawah SKM (standart kelulusan minimal) yaitu “5”.

Padahal wakil Ganjar ini orang yang punya peran penting dalam kabinet Jokowi yang berhubungan langsung pada penegakan hukum itu sendiri. Artinya apa? Lagi lagi, demi kekuasaan apapun pantas dilakukan.

Dari semua penjelasan ini masih relevankah kata ‘etika’ ini dengan pilpres? Atau lebih subtantif lagi, masih adakah ‘Etika’ dalam perpolitikan negara kita?