Surabaya, (pawartajatim.com) – Jujur saja, masalah stunting bersumber pada orang tua anak atau si-bayi. Bila kedua orang tua berpendidikan cukup (minimal sarjana), hidup di daerah perkotaan, berkehidupan yang cukup, niscaya target penurunan 14 persen hingga 2024 akan terpenuhi.
Namun, bila kedua orang tua yang bersangkutan berpendidikan rendah dan hidup di daerah pedesaan yang terpencil atau akses tenaga kesehatan yang minim serta berkehidupan miskin atau kekurangan bukan tidak mungkin target yang hanya 14 persen tak akan terpenuhi.
Lihat saja, pasangan suami istri, Arief dan Dila, yang bekerja di Surabaya tetapi tinggal di Sidoarjo ini yang baru dikarunia anak sejak 21 Februari 2023 lalu sangat memperhatikan asupan si-bayi yang Bernama Basyam itu. Untungnya, kedua orang tua ini dibantu oleh nenek sang bayi yang bertugas menjaga bayi apabila Arief dan Dila, sedang bekerja.
‘’Terus terang saja, setiap saya pulang ke rumah sebelum memegang bayi, saya dan istri harus memastikan bersih terlebih dahulu. Maksudnya, harus mandi membersihkan badan dulu. Setelah itu, baru momong bayi saya lagi,’’ kata Arief (30), yang baru menyadari pentingnya hidup bersih dalam membesarkan Basyam, anak pertamanya ini di Surabaya Sabtu (10/6/2023).
Demikian juga jadwal vaksin bayi yang sudah ditentukan dokter/perawat di Puskesmas Jagir Wonokromo Surabaya maupun Posiandu di komplek Perumahan Pejaya Anugerah (Jegu) Sidoarjo ini tak pernah dilewatkan.
Dengan cara sederhana ini, tentunya dapat membantu tugas berat pemerintah dalam menurunkan target stunting 14 persen hingga 2024. Kondisi yang dilakukan Arief dan Dila, yang hidup di daerah perkotaan ini tentunya tidak bisa disamakan dengan keluarga yang hidup di desa terpencil.
Apalagi, kalau pasangan yang baru menikah itu memiliki pendidikan yang minim dan dari keluarga miskin. Disinilah perlunya negara harus turun untuk memenuhi target penurunan stunting 14 persen. Yang harus diingat, Stunting adalah masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang.
Sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak. Stunting juga menjadi salah satu penyebab tinggi badan anak terhambat, sehingga lebih rendah dibandingkan anak-anak seusianya.
Karena itu, Ketua TP PKK Provinsi Jawa Timur/Jatim, Arumi Bachsin Emil Dardak, tak henti-hentinya mengatakan, pentingnya penguatan pada tiga unsur yang berkontribusi langsung pada keadaan stunting di lapangan. Yakni, kader PKK, penyuluh Keluarga Berencana/KB, dan bidan.

“Selain fokus terhadap hasil, kita juga harus fokus memberikan apresiasi dan penguatan kepada unsur kader PKK, penyuluh KB, dan bidan,” kata istri Wagub Jatim, Emil Dardak, saat menjadi narasumber di Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Kemitraan Tingkat Provinsi Jawa Timur 2023 di Hotel JW Marriott, Surabaya, belum lama ini.
Penguatan pada tiga unsur ini, kata dia, menjadi penting, mengingat merekalah yang bersinggungan secara langsung dengan keluarga. Sehingga, jika setiap unsur dapat meningkatkan kinerja, target penurunan 14 persen akan mudah dicapai.
Yang tak kalah pentingnya, menurut Arumi, setiap orang harus dapat mengidentifikasi masalah yang ada. Terutama akan perilaku keluarga yang meskipun paham tentang bahaya stunting, masih tidak bisa menerima jika anak-anaknya diklaim stunting.
Hal senada dikemukakan, Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN Jatim, Maria Ernawati. Ia dengan tegas menyatakan, sinkronisasi BKKBN dan PKK merupakan hal yang tidak terpisahkan.
Mengingat, banyak program-program BKKBN yang memang implementasinya di lapangan dilakukan oleh ibu-ibu PKK. Menyinggung percepatan penurunan stunting, BKKBN sudah membentuk Tim Pendamping Keluarga yang terdiri dari tiga unsur.
Pertama adalah bidan atau tenaga kesehatan, yang kedua adalah kader PKK, dan yang ketiga adalah dari kader KB. “Sudah ada 31.243 tim. Itu artinya kalau dikalikan tiga ada 93.729 orang yang kita rekrut untuk mendampingi keluarga yang berisiko mengalami stunting. Jadi inilah usaha yang sedang kita lakukan untuk mempercepat penurunan stunting di masyarakat,” ucapnya.
Yang perlu dicatat, Jatim merupakan salah satu wilayah yang mengalami penurunan stunting pada 2022. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, angka stunting di Jatim, 19,2 persen. Target nasional 2024, stunting turun ke angka 14 persen.
Wagub Jatim, Emil Elistianto Dardak, menyatakan, ada 21 kabupaten/kota mengalami penurunan tajam diatas 18,4 persen. Meski demikian, masih terdapat 3 kabupaten/kota yang memiliki angka prevalensi stunting diatas 30 persen.
Kondisi stunting di Jatim, disebabkan multi factor. Misalnya, masalah kesehatan ibu, bayi, remaja, dan juga masih adanya perkawinan anak. Karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk melakukan pencegahan seperti sosialisasi yang dilakukan oleh PKK serta intervensi dini kepada remaja putri dengan peningkatan gizi.
Melihat masih ada tiga kabupaten/kota yang memiliki angka prevalensi stunting diatas 30 persen, tak berlebihan jika tiga unsur yang disebutkan Arumi, menjadi penting, mengingat merekalah yang bersinggungan secara langsung dengan keluarga.
Tugas tiga unsur ini bertujuan untuk membebaskan Jatim dari stunting dengan menyadarkan para orang tua dan keluarga untuk menjaga kebersihan dan kesehatan, seperti yang dilakukan keluarga Arief dan Dila, ini. (bw)











